Bilal Fahrur
Rozie
Mahasiswa
Islamic University of Madinah
Salah satu sumber
dalil yang sering digunakan Ulama dalam ijtihad-ijtihad mereka ialah qiyas.
Qiyas sendiri berarti menganalogikan sebuah hukum yang belum ada dalam syariat
dengan hukum yang sudah tertulis dalam syariat dengan korelasi illah
(alasan hukum) yang sama. Nah, dalam mencari illah sebuah hukum, ulama
memiliki 3 metode, yaitu : Tahqiqul Manath, Tanqihul Manath dan Takhrijul
Manath. Insyaallah dalam artikel ini, kita akan membahas setiap metode tersebut
beserta contoh dan fungsi kekiniaan yang bisa kita manfaatkan.
1. Tahqiqul Manath
Ibnu Qudamah
Al-Maqdisi dalam kitabnya Raudhatun Nadhir menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan tahqiqul manath ialah mengaktualisasikan sebuah kaedah umum atau
sebuah hukum yang sudah jelas dalam syariat kepada sebuah kejadian tertentu. Beliau
mencontohkan bahwa apabila ada seorang muhrim (orang yang sedang berihram) berburu
sebuah keledai liar, maka ia wajib membayar fidyah sebanding dengan hewan yang
sudah ia bunuh tersebut. Hal itu berdasarkan ayat berikut :
فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ
“Maka balasannya semisal apa yang dia
bunuh dari binatang ternak.”
QS. Al-Maidah : 95
Lantas,
apabila ada seorang mujtahid yang berijtihad bahwa hewan yang semisal dengan keledai
tersebut adalah sapi, maka hal ini termasuk dalam tahqiqul manath.
Contoh lain
ialah Allah SWT mewajibkan setiap muslim untuk menghadap kiblat setiap kali ia
menjalankan shalat. Lantas, apabila ada seorang muslim yang berijtihad dalam
menentukan arah kiblat tersebut, apakah luruh ke barat, atau apakah lebih
serong sedikit, itu termasuk dalam tahqiqul manath.
Tahqiqul manath
sudah menjadi konsensus seluruh ulama (Ijma) bahwa hal tersebut boleh
dilakukan.
2. Tanqihul Manath
Metode kedua ialah
tanqihul manath. Tanqihul manath ialah sebuah metode untuk memilih dan
memilah sebuah illah yang cocok untuk sebuah hukum dari sekian banyak
kemungkinan illah yang ada.
Sebagai contoh
: dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya,
bahwa ada seorang Arab desa yang datang ke masjid. Tiba-tiba, ia pun kencing di
pojokan masjid. Para shahabat spontan ingin menegur Arab desa tersebut. Namun,
ketika melihat mereka, Rasulullah SAW pun melarang hal itu dan memerintahkan
para shahabat untuk menyiram tempat bekas kencing itu. [1]
Dari hadits
tersebut, ada beberapa hal yang berpotensi untuk dijadikan illah untuk menentukan
sebuah hukum. Diantara sekian potensi tersebut ialah pelaku dari kejadian ini
yaitu orang Arab desa, tempat kejadian perkara yaitu masjid Nabawi dan kenajisan
air kencing, sehingga ia harus dibersihkan. Kita akan coba saring satu persatu
kemungkinan yang ada untuk mendapatkan sebuah illah yang sesuai dengan
kaedah syariat.
Kemungkinan
pertama ialah pelaku dari kejadian ini yaitu seorang Arab desa. Hal ini tidak
bisa dijadikan illah. Mengapa? Karena apabila orang Arab desa ini
dijadikan illah, maka ketika ada orang lain selain orang Arab desa yang kencing
di pojokan masjid, bisa jadi ia tidak termasuk dalam hadits ini dan bukan
demikianlah yang dimaksudkan dari hadits tersebut.
Kemungkinan
kedua ialah tempat kejadian hadits ini yaitu masjid Nabawi. Apabila yang
dijadikan illah ialah tempat kejadian perkarannya, maka secara otomatis
apabila ada seseorang yang kencing di selain masjid Nabawi, hal itu boleh. Tentu
hal ini akan sangat merusak makna hadits tersebut oleh karena itu hal ini tidak
dapat dijadikan illah.
Kemungkinan
ketiga ialah sebab mengapa Rasulullah memerintahkan para shahabat untuk
membersihkan bekas kencing tersebut, yaitu karena kencing itu najis. Hal ini
lah yang bisa dijadikan illah karena sesuai dengan hadits lain bahwa kencing
itu najis. Sehingga dimanapun tempatnya dan siapa pun pelakunnya, apabila ia
kencing di masjid, maka masjid itu wajib untuk dibersihkan karena kencing itu
najis.
Proses memilih
illah yang sesuai dari sebuah nash itu lah dinamakan tanqihul manath. Dengan
dilakukannya tanqihul manath inilah seorang mujtahid bisa membantah dan memilah
sebuah illah yang kadang bisa merusak sebuah hukum. Seperti halnya apa yang
dilakukan oleh salah seorang orientalis yang mengatakan bahwa kewajiban jilbab
itu hanya berlaku di masa lalu karena ia digunakan untuk melindungi orang-orang
jaman dulu dari terpaan debu. Sedangkan zaman sekarang, karena sudah banyak
bangunan, maka debu itu sudah tidak seperti zaman dulu, sehingga pemakaian
jilbab tidak wajib. Meskipun apa yang dikatakan oleh orientalis tersbut memungkinkan
untuk dijadikan illah dalam sebuah hukum, tapi karena tidak sesuai
dengan kaedah syariat, ia tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Lantas
bagaimana mengetahui bahwa hal ini yang sesuai dengan syariat dan yang ini
tidak? Ibnu Qudamah menerangkan bahwa hal itu bisa dilihat dari kebiasaan nash
dalam menerangkan sebuah hukum atau apabila hal itu bisa dikuatkan dengan dalil
yang lain.
3. Takhrijul Manath
Metode ketiga
ialah takhrijul manath. Yang dimaksud dengan takhrijul manath ialah ijtihad
yang yang dilakukan oleh seorang mujtahid dalam mengambil sebuah illah dari
sebuah dalil yang tidak menyebutkan secara eksplisit illah dari hukum
tersebut.
Sebagai contoh
: dalam sebuah hadits, Rasulullah menyebutkan bahwa ada dua darah dan dua bangkai
yang halal untuk dimakan. Dua darah itu ialah hati dan limpa. Sedangkan dua
bangkai itu adalah bangkai ikan dan bangkai belalang. Dalam hadits tersebut
tidak disebutkan secara eksplisit mengapa yang dihalalkan ialah dua bangai dan
dua darah itu saja. Lantas, ada seorang mujtahid yang berijtihad untuk
mengetahui illah tersebut. Maka ijtihadnya itu dinamakan dengan takhrijul
manath.
Itulah tiga
metode dalam mengambil sebuah illah dari sebuah dalil. Sehingga diharapkan
dengan adanya tiga metode tersebut, kita bisa mengistinbath suatu illah dan
bisa menangkal pemahaman-pemahaman yang tidak sesuai dengan kaedah syariat. []
Suka menulis, membaca dan belajar. Alumni Islamic University of Madinah dan kini sedang melanjutkan study di fakultas Studi Islam UMJ.