Salam ketika sholat
merupakan salah satu rukun yang harus dilakukan. Apabila tidak ada salam, maka
sholat tersebut batal. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah salam dalam
sholat. Ada yang mengatakan satu kali, dua kali atau bahkan tiga kali.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang wajib adalah satu kali berdasarkan
beberapa hadits shahih. Bagaimana pun pendapat itu, salam tetap harus
dilakukan. Namun, bagaimana lafal salam yang dituntunkan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam ?
Pendapat Ulama
Ulama dari kalangan empat
madzhab bersepakat bahwa lafal ‘Assalamualaikum wa rahmatullah’ dalam sholat
itu boleh. Yang menjadi perdebatan ialah tambahan lafal ‘wa barakatuh’. Madzhab
Hanafiyah berpendapat bahwa salam dalam sholat itu tidak boleh ditambahi lafal
‘wa barakatuh’ (Al Jauharatun Nirah/68). Yang sependapat dengan madzhab Hanafiyah ialah
Syafi’iyyah. Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj, Imam Ibnu Hajar Al Haitami mengatakan,”Tidak
boleh menambahi (lafal assalamu’alaikum wa rahmatullah) atau mengurangi sesuatu
yang dapat merubah makna, kecuali dalam sholat jenazah (boleh ditambahi ‘wa
barakatuh’)” (Tuhfatul Muhtaj, 1/265).
Sedangkan madzhab
Malikiyyah berpendapat bahwa tambahan ‘warahmatullahi wa baraktuh’ dalam sholat
itu boleh. Menurut mereka, salam itu termasuk sesuatu di luar sholat, maka
boleh diberi tambahan lafal ‘wa barakatuh’. Namun, salam dengan tanpa ‘wa barakatuh’
itu lebih afdhal karena penduduk Madinah tidak menambahkan lafal ‘wa barakatuh’
dalam salam mereka (Hasyiyatud Dasuqiy, 1/241). Begitu halnya dalam madzhab Hanabilah, lafal
salam hanya dengan ‘Assalamu’alaikum wa rahmatullah’ itu lebih bagus dan afdhal
daripada ditambah dengan ‘wa barakatuh’. Meskipun apabila ditambahkan lafal ‘wa
barakatuh’ dalam sholat itu tak mengapa. Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam sendiri pernah melakukan hal tersebut (Syarah Muntahal Iradat, 1/414).
Landasan Pendapat
Madzhab Hanafiyah dan
Syafi’iyyah berdalil dengan hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah, sebagai berikut :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ، حَتَّى يُرَى بَيَاضُ
خَدِّهِ: “السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ
اللَّهِ“
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam salam ke kanan dan ke kiri sehingga terlihat
putih pipi beliau dan berkata,”Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah, assalamu ‘alaikum
warahmatullah.”
Dalam hadits tersebut,
tidak ada tambahan lafal ‘wa barakatuh’. Maka, tambahan lafal ‘wa barakatuh’
dalam sholat itu tidak boleh.
Sedangkan madzhab Malikiyyah
dan Hanabilah yang berpendapat bahwa yang lebih afdhal tetap tanpa ‘wa
barakatuh’, meskipun kalau ditambahi itu boleh juga berdalil dengan hadits di
atas dan juga hadits shahabat Wail bin Hujr dan Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan
oleh Imam Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah (Nailul Authar, 4/400). Ibnu
Hajar berkomentar tentang hadits Wail bin Hujr ini bahwa tambahan ‘wa barakatuh’
dalam salam ketika sholat itu ada dan bukan suatu hadits yang aneh. Beliau juga
menshahihkan hadits tersebut dalam kitab ‘Bulughul Maram’ susunan beliau.
Lantas, mana yang lebih benar
dari kedua pendapat tersebut. Pendapat Malikiyyah dan Hanabilah ialah pendapat
yang paling tepat. Kedua pendapat ini berhasil mengkompromikan kedua hadits tersebut
dan mengamalkan keduanya secara bersamaan. Dalam kaedah ushul fiqh disebutkan al
jam’u muqaddamun ala tarjih, mengkompromikan dua dalil yang terlihat
bertentangan itu lebih utama daripada memilih salah satunya. Maka, mengamalkan
kedua hadits yang berisi ‘wa barakatuh’ dan yang tidak itu lebih baik. Sehingga
pendapat kedua ini lah yang paling tepat. Wallahu a’lam.
Suka menulis, membaca dan belajar. Alumni Islamic University of Madinah dan kini sedang melanjutkan study di fakultas Studi Islam UMJ.