Menu Tutup

Senyawa Ilmuwan dan Ulama dalam Menentukan Hukum Fiqih

Fiqih islam itu menyeluruh untuk segala aspek kehidupan. Bahkan, suatu keputusan hukum fiqih itu menjadi sangat penting ketika ada suatu hal yang baru dalam kehidupan. Tidak luput pula dalam hal menentukan halal haramnya suatu hal. Makanan, minuman dan segala hal yang kita pakai, selalu mengikuti perkembangan zaman dan selalu berusaha menemukan inovasinya masing-masing. Akibatnya, makanan atau minuman itu memiliki wujud, sifat dan komposisi yang berbeda dan selalu baru. Bahkan kadang, suatu makanan itu memiliki komposisi yang belum pernah ada pada makanan sebelumnya. Lantas, bagaimana menentukan suatu hal itu boleh dimakan (halal) atau tidak (haram)? Nah, di sinilah senyawanya ilmuwan dan ulama dibutuhkan.

Assoc. Prof. Winai Dahlan, Ph.D ketika menyampaikan sebuah lecture pada Konferensi Halal di UMM mengatakan bahwa setidaknya ada empat ayat yang menjadi landasan utama seorang ulama wajib bersenyawa dengan ilmuwan dalam menentukan halal haram suatu hal.

Pertama, Kalam Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 168 :

{ قُلۡ أَرَءَیۡتُم مَّاۤ أَنزَلَ ٱللَّهُ لَكُم مِّن رِّزۡقࣲ فَجَعَلۡتُم مِّنۡهُ حَرَامࣰا وَحَلَـٰلࣰا قُلۡ ءَاۤللَّهُ أَذِنَ لَكُمۡۖ أَمۡ عَلَى ٱللَّهِ تَفۡتَرُونَ }

“Wahai sekalian manusia, kalian makanlah apa yang ada di bumi ini (dari hal) yang halal dan thayyib.”

Ayat ini berisi perintah untuk mengkonsumsi, menggunakan dan memakai barang-barang yang halal dan thayyib. Yang menarik ialah perintah ini berlaku umum kepada seluruh manusia dan tidak hanya khusus untuk umat muslim saja. Oleh karenanya, Allah memakai khitab (panggilan) an-naas, supaya seluruh golongan manusia termasuk dalam ayat ini. Oleh karena itu, karena seluruh manusia wajib mengkonsumsi, menggunakan dan memakai barang-barang yang halal, mencari barang yang halal dan thayyib pun adalah sebuah keniscayaan.

Kedua, Kalam Allah SWT dalam surat Yunus 59

{ قُلۡ أَرَءَیۡتُم مَّاۤ أَنزَلَ ٱللَّهُ لَكُم مِّن رِّزۡقࣲ فَجَعَلۡتُم مِّنۡهُ حَرَامࣰا وَحَلَـٰلࣰا قُلۡ ءَاۤللَّهُ أَذِنَ لَكُمۡۖ أَمۡ عَلَى ٱللَّهِ تَفۡتَرُونَ }

Katakanlah (Muhammad), “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal.” Katakanlah, “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini), ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah?”

Ayat ini memberikan sindiran kepada seluruh umat bahwa tidak sepatutnya membikin suatu celah untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Lantas bagaimana ? Halal dan haram itu harus berdasarkan apa yang Allah dan Rasulnya gariskan atau berdasarkan ijtihad ulama berdasarkan Al Quran dan hadits. (judge under Islamic principal).

Baca juga,”Hikmah Dibalik Perang Khandaq

Ketiga, Allah berkalam dalam surat An Nahl ayat 43 dan Al Anbiya ayat 7 :

{ فَسۡـَٔلُوۤا۟ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ }

“Tanyalah kepada orang-orang yang mengetahui jika kalian tidak mengetahui.”

Ayat ini memberikan suatu perintah kepada seluruh umat bahwa apabila tidak memahami suatu hal, hendaknya menanyakan hal itu kepada orang-orang yang berkompeten. Dalam menentukan halal dan haram, maka yang berkompeten dalam hal ini adalah para ulama dengan berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan Sunnah. Tentu, ulama pun ketika memutuskan sesuatu, harus bekerjasama dengan para ilmuwan. Hal itu karena, di zaman modern sekarang, komposisi makanan perlu diteliti lebih lanjut untuk mengetahui bahan asli yang membentuk makanan itu, kemudian dari bahan itu baru bisa ditentukan mana yang halal dan mana yang haram.

Keempat, Kalam Allah SWT dalam surat Al Kahfi ayat 60

{ وَإِذۡ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَىٰهُ لَاۤ أَبۡرَحُ حَتَّىٰۤ أَبۡلُغَ مَجۡمَعَ ٱلۡبَحۡرَیۡنِ أَوۡ أَمۡضِیَ حُقُبࣰا }

“Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada budaknya,’Aku tidak akan berhenti hingga aku mencapai pertemuan dua lautan atau aku akan berjalan terus meskipun bertahun-tahun.”

Prof Winai Dahlan memiliki suatu pemahaman yang sangat apik mengenai ayat ini. Beliau menyampaikan bahwa ayat ini memberikan isyarat, seorang alim harus berkolaborasi dengan orang lain yang berkompeten dalam suatu hal. Sebagaimana Nabi Musa yang pada saat itu adalah seorang Nabi yang alim, harus ‘dipaksa’ oleh Allah untuk berguru suatu ilmu yang belum beliau dapatkan dari Nabi Khidir. Selain itu, dari kata ِمَجْمَعً الْبَحْرَيْن (bertemunya dua lautan) juga memberikan isyarat, bahwa lautan ilmu ulama dan lautan ilmu dari ilmuwan apabila disatukan, akan menghasilkan keputusan hukum yang sangat luar biasa.

Berdasarkan empat ayat ini, maka senyawa antara ulama dan ilmuwan dalam menentukan halal haram suatu barang yang dikonsumsi itu hukumnya wajib. Namun, setiap kelompok memiliki tugas masing-masing. Ilmuwan bertugas meneliti kandungan dari setiap bahan makanan itu. Hasilnya kemudian disampaikan ke ulama untuk kemudian diijtihadkan dan difatwakan. Sebagaimana ulama yang tidak berkompeten di bidang sains untuk tidak berkecimpung di penelitian, begitu juga ilmuwan yang tidak berkompeten di ilmu fikih supaya tidak memfatwakan. []

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *