Sejarah Perkembangan Peradilan Zaman
Jahiliyyah
Oleh : Bilal Fahrur Rozie
Sebagaimana yang sudah pernah saya singgung di artikel sebelum ini
bahwa sejarah peradilan Islam ini berkembang bersamaan dengan perkembangan
manusia. Sehingga memang sejak awal manusia diciptakan, peradilan ini sudah
ada. Meskipun ia belum resmi berbentuk sebuah lembaga khusus, namun peradilan
ini sudah berjalan. Hal itu karena, banyak sekali kejadian yang menuntut
manusia untuk menerapkan peradilan dalam menyelesaikan berbagai masalah.
Peradilan paling awal dan palilng otentik adalah sebuah kejadian yang
disebutkan dalam Al-Qur’an [1] ketika
dua anak Adam, yaitu Qobil dan Habil berselisih atas suatu hal, hingga akhirnya
diputuskan untuk bersama-sama mengorbankan sebuah hewan kurban. Siapa saja yang
hewannya terbakar dan terangkat ke langit, maka hal itu menunjukan bahwa hewan
kurbannya lah yang diterima.[2]
Namun, dalam peradilan Qobil dan Habil tersebut, Allah lah yang langsung
memutuskan siapa yang benar di antara mereka.
bahwa sejarah peradilan Islam ini berkembang bersamaan dengan perkembangan
manusia. Sehingga memang sejak awal manusia diciptakan, peradilan ini sudah
ada. Meskipun ia belum resmi berbentuk sebuah lembaga khusus, namun peradilan
ini sudah berjalan. Hal itu karena, banyak sekali kejadian yang menuntut
manusia untuk menerapkan peradilan dalam menyelesaikan berbagai masalah.
Peradilan paling awal dan palilng otentik adalah sebuah kejadian yang
disebutkan dalam Al-Qur’an [1] ketika
dua anak Adam, yaitu Qobil dan Habil berselisih atas suatu hal, hingga akhirnya
diputuskan untuk bersama-sama mengorbankan sebuah hewan kurban. Siapa saja yang
hewannya terbakar dan terangkat ke langit, maka hal itu menunjukan bahwa hewan
kurbannya lah yang diterima.[2]
Namun, dalam peradilan Qobil dan Habil tersebut, Allah lah yang langsung
memutuskan siapa yang benar di antara mereka.
Semakin berjalannya waktu, semakin bertambah pula kejadian yang
menuntuk manusia untuk mengembangkan peradilan. Hingga tiba masa Jahiliyyah. Masa
dimana ketika penduduk Arab masih berada pada kungkungan kebodohan hingga
sampai Rasulullah SAW diangkat menjadi Nabi.
menuntuk manusia untuk mengembangkan peradilan. Hingga tiba masa Jahiliyyah. Masa
dimana ketika penduduk Arab masih berada pada kungkungan kebodohan hingga
sampai Rasulullah SAW diangkat menjadi Nabi.
Ketika kita bercerita tentang masa Jahiliyyah orang-orang Arab,
maka akan terbayang pada otak kita bahwa mereka ialah orang yang bar-bar,
melakukan segala hal berdasarkan hawa nafsu belaka. Siapa yang kuat, maka ialah
yang menang. Memang begitulah adanya. Sehingga pada zaman itu, tidak ada sebuah
peradilan yang tetap dalam menyelesaikan persoalan di antara mereka. Siapa yang
mempunyai kekutan, maka bisa dipastikan ia bisa menang dalam persoalan
tersebut. Sebagai contoh, ketika mereka membagi harta warisan, maka orang
tua,anak kecil atau wanita yang berhak menjadi ahli waris, tidak akan
mendapatkan harta warisan sama sekali. Harta warisan berhak diambil oleh orang
terkuat dari keluarga tersebut, dan biasanya anak laki-laki terbesar dari
keluarga itulah yang paling banyak mengambil bagian. Bahkan, ibu mereka sendiri
bisa dijadikan harta warisan dan dapat diwarisi oleh anaknya. Begitu pula dalam
hal diyat (tebusan) orang yang terbunuh. Apabila yang terbunuh dari kalangan
keluarga yang kurang terpandang, maka otomatis ia tidak akan mendapatkan
tebusan sebanyak keluarga yang terpandang. Berbeda ketika yang terbunuh dari
kalangan keluarga yang terpandang, maka tebusannya sangatlah besar, atau bahkan
sangat mustahil bagi si pembunuh untuk membayar tebusan tersebut. Contoh lain
ialah, kepala suku Arab akan mendapatkan beberapa hak keistimewaan yang sangat
banyak berbeda dengan anak sukunya. Hak itu antara lain, ia berhak mendapatkan nasyithah
(harta yang didapatkan oleh pejuang perang sebelum mereka sampai tempat
peperangan), shafaya (harta yang dipilih oleh kepada suku sebelum
membagi harta ghanimah), mirba’ (seperempat dari harta rampasan perang)
dan sebidang tanah yang hanya boleh dikelola oleh kepala suku. [3]
Yang paling menarik disini ialah, ketika mereka mendefinisikan ‘keadilan’ dan
‘kedhaliman’. Menurut mereka keadilan ialah “Ketika aku menginginkan kambing
tetanggaku, maka aku berhak untuk mengambilnya” dan dhalim ialah “Ketika
ada tetanggaku yang mengingkinkan kambingku, maka aku berhak menolaknya.”
Dan rasa-rasanya, definisi keadilan dan dhalim yang mereka anut, mulai banyak
dianut pula oleh para penguasa negeri ini. J
maka akan terbayang pada otak kita bahwa mereka ialah orang yang bar-bar,
melakukan segala hal berdasarkan hawa nafsu belaka. Siapa yang kuat, maka ialah
yang menang. Memang begitulah adanya. Sehingga pada zaman itu, tidak ada sebuah
peradilan yang tetap dalam menyelesaikan persoalan di antara mereka. Siapa yang
mempunyai kekutan, maka bisa dipastikan ia bisa menang dalam persoalan
tersebut. Sebagai contoh, ketika mereka membagi harta warisan, maka orang
tua,anak kecil atau wanita yang berhak menjadi ahli waris, tidak akan
mendapatkan harta warisan sama sekali. Harta warisan berhak diambil oleh orang
terkuat dari keluarga tersebut, dan biasanya anak laki-laki terbesar dari
keluarga itulah yang paling banyak mengambil bagian. Bahkan, ibu mereka sendiri
bisa dijadikan harta warisan dan dapat diwarisi oleh anaknya. Begitu pula dalam
hal diyat (tebusan) orang yang terbunuh. Apabila yang terbunuh dari kalangan
keluarga yang kurang terpandang, maka otomatis ia tidak akan mendapatkan
tebusan sebanyak keluarga yang terpandang. Berbeda ketika yang terbunuh dari
kalangan keluarga yang terpandang, maka tebusannya sangatlah besar, atau bahkan
sangat mustahil bagi si pembunuh untuk membayar tebusan tersebut. Contoh lain
ialah, kepala suku Arab akan mendapatkan beberapa hak keistimewaan yang sangat
banyak berbeda dengan anak sukunya. Hak itu antara lain, ia berhak mendapatkan nasyithah
(harta yang didapatkan oleh pejuang perang sebelum mereka sampai tempat
peperangan), shafaya (harta yang dipilih oleh kepada suku sebelum
membagi harta ghanimah), mirba’ (seperempat dari harta rampasan perang)
dan sebidang tanah yang hanya boleh dikelola oleh kepala suku. [3]
Yang paling menarik disini ialah, ketika mereka mendefinisikan ‘keadilan’ dan
‘kedhaliman’. Menurut mereka keadilan ialah “Ketika aku menginginkan kambing
tetanggaku, maka aku berhak untuk mengambilnya” dan dhalim ialah “Ketika
ada tetanggaku yang mengingkinkan kambingku, maka aku berhak menolaknya.”
Dan rasa-rasanya, definisi keadilan dan dhalim yang mereka anut, mulai banyak
dianut pula oleh para penguasa negeri ini. J
Ketika ketidakadilan dalam masyarakat Jahiliyyah tatkala itu mulai
meraja lela, muncullah beberapa inisiatif dari kalangan kepala suku untuk
merancang sebuah peradilan untuk menyelesaikan masalah yang semakin banyak
mereka hadapi. Di antara peradilan dijalankan oleh penduduk Arab zaman
Jahiliyyah ialah :
meraja lela, muncullah beberapa inisiatif dari kalangan kepala suku untuk
merancang sebuah peradilan untuk menyelesaikan masalah yang semakin banyak
mereka hadapi. Di antara peradilan dijalankan oleh penduduk Arab zaman
Jahiliyyah ialah :
1.
Hukum adat istiadat.
Hukum adat istiadat.
Ketika ada sebuah perselisihan, maka kepala sukulah yang pertama
kali berhak untuk menyelesaikan masalah tersebut berdasarkan adat istiadat yang
telah berlaku. Namun tentu saja ketika yang berlaku ialah adat istiadat, tidak
ada sebuah peraturan yang pasti dalam menentukan suatu hukum. Sehingga bisa
jadi ketimpangan dalam suatu keputusan tetap terjadi.
kali berhak untuk menyelesaikan masalah tersebut berdasarkan adat istiadat yang
telah berlaku. Namun tentu saja ketika yang berlaku ialah adat istiadat, tidak
ada sebuah peraturan yang pasti dalam menentukan suatu hukum. Sehingga bisa
jadi ketimpangan dalam suatu keputusan tetap terjadi.
2.
Mengajukan peradilan kepada dukun.
Mengajukan peradilan kepada dukun.
Pada zaman itu, dukun atau biasa disebut dengan ‘orang pintar’ (arrafin)
cukup mendapatkan kedudukan yang istimewa. Sehingga ketika mempunyai suatu
masalah, mereka datang kepada dukun tersebut untuk meminta pendapat dalam
memutuskan suatu perkara. Di antara yang dilakukan oleh dukun tersebut ialah
dengan cara undian (iqtisam bil azlam). Artinya, ketika memutuskan suatu
perkara, mereka mengundi terlebih dahulu dalam suatu wadah. Siapa nama yang
keluar dari undian tersebut, maka ialah yang benar. Tentu, ini sangat jauh dari
kata ‘adil’. Undian ini hanya berdasarkan keberuntungan, tanpa ada penelitian
dan pembuktian terlebih dahulu.
cukup mendapatkan kedudukan yang istimewa. Sehingga ketika mempunyai suatu
masalah, mereka datang kepada dukun tersebut untuk meminta pendapat dalam
memutuskan suatu perkara. Di antara yang dilakukan oleh dukun tersebut ialah
dengan cara undian (iqtisam bil azlam). Artinya, ketika memutuskan suatu
perkara, mereka mengundi terlebih dahulu dalam suatu wadah. Siapa nama yang
keluar dari undian tersebut, maka ialah yang benar. Tentu, ini sangat jauh dari
kata ‘adil’. Undian ini hanya berdasarkan keberuntungan, tanpa ada penelitian
dan pembuktian terlebih dahulu.
3.
Mengajukan suatu perkara kepada
seseorang yang dianggap mumpuni dalam hal itu.
Mengajukan suatu perkara kepada
seseorang yang dianggap mumpuni dalam hal itu.
Praktek seperti ini merupakan sebuah praktik peradilan yang lebih
maju di antara dua bentuk peradilan yang telah disebutkan di atas. Dalam
praktek peradilan seperti ini, apabila ada suatu perselisihan, maka mereka akan
datang kepada seseorang yang menurut mereka ialah sosok paling tepat dalam
memutuskan perselisihan tersebut. Hal ini sebagaimana terekam dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan dari Abu Syuraih. Abu Syuraih ialah salah seorang
shahabat yang diganti namanya oleh Nabi karena di dalam namanya, terdapat nama
Allah yang tidak boleh digunakan oleh manusia. Nama Abu Syuraih sebelum diganti
ialah Abul Hakam (Yang mempunyai hikmah). Ketika itu Abu Syuraih ditanya oleh
Rasulullah SAW,”Mengapa engkau disebut Abul Hakam ?” Maka jawab Abu Syuraih
ialah,”Sesungguhnya kaumku apabila berselisih dalam suatu hal, pasti akan
mendatangiku dan memintaku untuk memutuskan dalam hal itu. Apabila aku
putuskan, pasti dua kelompok yang berselisih itu akan ridha dengan keputusanku,
oleh karena itu aku disebut Abul Hakam (Yang mempunyai hikmah).” [4]
maju di antara dua bentuk peradilan yang telah disebutkan di atas. Dalam
praktek peradilan seperti ini, apabila ada suatu perselisihan, maka mereka akan
datang kepada seseorang yang menurut mereka ialah sosok paling tepat dalam
memutuskan perselisihan tersebut. Hal ini sebagaimana terekam dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan dari Abu Syuraih. Abu Syuraih ialah salah seorang
shahabat yang diganti namanya oleh Nabi karena di dalam namanya, terdapat nama
Allah yang tidak boleh digunakan oleh manusia. Nama Abu Syuraih sebelum diganti
ialah Abul Hakam (Yang mempunyai hikmah). Ketika itu Abu Syuraih ditanya oleh
Rasulullah SAW,”Mengapa engkau disebut Abul Hakam ?” Maka jawab Abu Syuraih
ialah,”Sesungguhnya kaumku apabila berselisih dalam suatu hal, pasti akan
mendatangiku dan memintaku untuk memutuskan dalam hal itu. Apabila aku
putuskan, pasti dua kelompok yang berselisih itu akan ridha dengan keputusanku,
oleh karena itu aku disebut Abul Hakam (Yang mempunyai hikmah).” [4]
Dalam hadits tersebut terekam jelas bagaimana praktik peradilan
yang pernah dijalankan oleh masyarakt Jahiliyyah. Abu Syuraih lah yang ketika
itu banyak diandalkan untuk menyelesakan suatu perkara ketika ada sebuah
perselisihan.
yang pernah dijalankan oleh masyarakt Jahiliyyah. Abu Syuraih lah yang ketika
itu banyak diandalkan untuk menyelesakan suatu perkara ketika ada sebuah
perselisihan.
4.
Hilful Fudhul
Hilful Fudhul
Hilful Fudhul ialah sebuah perjanjian yang disepakati oleh para
pembesar dan kepala suku untuk bersama menjunjung tinggi keadilan serta
keamanan. Rasulullah SAW ikut serta pula dalam mensukseskan hilful fudhul ini. Namun
ketika itu, beliau masih muda serta belum diangkan menjadi Nabi.
pembesar dan kepala suku untuk bersama menjunjung tinggi keadilan serta
keamanan. Rasulullah SAW ikut serta pula dalam mensukseskan hilful fudhul ini. Namun
ketika itu, beliau masih muda serta belum diangkan menjadi Nabi.
Hilful Fuhdul ini bermula ketika semakin banyak kabilah dan suku
Arab pada saat itu. Dengan semakin banyaknya kabilah, semakin banyak pula
kepala suku yang kadang saling merasa paling hebat, sehingga tak jarang terjadi
berbagai gesekan meskipun dalam hal kecil sekalipun. Sebagaimana yang terjadi
pada seseorang dari Bani Zubaid di Yaman. Ketika itu, ia berangkat dari Yaman
menuju Makah untuk umroh dan berdagang. Sesampainya di Makah, Al-Ash bin Wa’il
salah seorang pembesar Bani Sahm membeli dagangannya. Namun, Al-Ash bin Wa’il
tidak mau membayar dagangan tersebut, dan ketika diminta kembali barangnya oleh
pedagangnya, ia menolak. Seketika itu juga, pedagang dari Bani Zubaid ini
berdiri di atas sebuah batu dan membacakan sebuah syair yang berisi
kegelisahannya karena ada salah seorang pembesar Bani Sahm yang tidak mau
membayar dagangannya. Begitu pula yang dialami oleh Qois bin Syaibah dari Bani
Salimah. Ketika ia menjual barang dagangannya kepada Ubay bin Khalaf, ia
menolak untuk membayarnya.
Arab pada saat itu. Dengan semakin banyaknya kabilah, semakin banyak pula
kepala suku yang kadang saling merasa paling hebat, sehingga tak jarang terjadi
berbagai gesekan meskipun dalam hal kecil sekalipun. Sebagaimana yang terjadi
pada seseorang dari Bani Zubaid di Yaman. Ketika itu, ia berangkat dari Yaman
menuju Makah untuk umroh dan berdagang. Sesampainya di Makah, Al-Ash bin Wa’il
salah seorang pembesar Bani Sahm membeli dagangannya. Namun, Al-Ash bin Wa’il
tidak mau membayar dagangan tersebut, dan ketika diminta kembali barangnya oleh
pedagangnya, ia menolak. Seketika itu juga, pedagang dari Bani Zubaid ini
berdiri di atas sebuah batu dan membacakan sebuah syair yang berisi
kegelisahannya karena ada salah seorang pembesar Bani Sahm yang tidak mau
membayar dagangannya. Begitu pula yang dialami oleh Qois bin Syaibah dari Bani
Salimah. Ketika ia menjual barang dagangannya kepada Ubay bin Khalaf, ia
menolak untuk membayarnya.
Setelah kejadian itu, berkumpullah beberapa pembesar Quraish untuk
bersama memutuskan sebuah perjanjian yang berisi tentang kebaikan-kebaikan yang
harus dijalankan oleh orang Quraish. Perjanjian itu kemudian hari disebut
dengan Hilful Fudhul. Di antara pembesar Quraish ketika itu yang ikut
dalam hilful fudhul ialah Abu Sufyan, dan Abbas bin Abdul Muthalib, Di antara
hasil akhir dari kesepatakan tersebut ialah mengembalikan segala kedhaliman
yang ada kepada yang berhak dan apabila ada seseorang yang mendhalimi orang
lain maka mereka harus berkerja sama untuk saling mencegahnya.
bersama memutuskan sebuah perjanjian yang berisi tentang kebaikan-kebaikan yang
harus dijalankan oleh orang Quraish. Perjanjian itu kemudian hari disebut
dengan Hilful Fudhul. Di antara pembesar Quraish ketika itu yang ikut
dalam hilful fudhul ialah Abu Sufyan, dan Abbas bin Abdul Muthalib, Di antara
hasil akhir dari kesepatakan tersebut ialah mengembalikan segala kedhaliman
yang ada kepada yang berhak dan apabila ada seseorang yang mendhalimi orang
lain maka mereka harus berkerja sama untuk saling mencegahnya.
Begitulah perjalanan peradilan di zaman Jahiliyyah. Pada awalnya
memang sangat kentara dominasi hawa nafsu nya. Namun, semakin mendekati
diutusnya Nabi Muhammad, semakin nampak keadilan terutama ketika disepakatinya
Hilful Fudhul tersebut. [bfr]
memang sangat kentara dominasi hawa nafsu nya. Namun, semakin mendekati
diutusnya Nabi Muhammad, semakin nampak keadilan terutama ketika disepakatinya
Hilful Fudhul tersebut. [bfr]
[1] Surat
Al-Ma’idah : 27-31
Al-Ma’idah : 27-31
[2] Umdatut Tafsir,
Syekh Ahmad Syakir, jld. 1, hlm. 662
Syekh Ahmad Syakir, jld. 1, hlm. 662
[3]
Tarikhul Qadha, Dr. Ibrahim bin Muhammad As-Suhailiy, hlm. 15
Tarikhul Qadha, Dr. Ibrahim bin Muhammad As-Suhailiy, hlm. 15
[4] Mu’jam
Ash-Shahabah, Abul Baqi bin Qani, Jld. 3, hlm. 201
Ash-Shahabah, Abul Baqi bin Qani, Jld. 3, hlm. 201
Suka menulis, membaca dan belajar. Alumni Islamic University of Madinah dan kini sedang melanjutkan study di fakultas Studi Islam UMJ.