Menu Tutup

Sahkah Sholat Sendiri di Belakang Shof ?

 

Oleh : Bilal Fahrur Rozie

Mahasiswa Fakultas
Syariah, Islamic University of Madinah

 

        Sangat
sering kita lihat di masjid, ketika shof sudah penuh, ada sebagaian orang yang
menarik orang di depannya untuk bersama ia di shof kedua. Sebagian lain tetap
memilih untuk berada di shof tersebut meskipun ia sendiri. Permasalahannya
sekarang ialah, ‘sahkah sholat sendiri di belakang shof?’ padahal Rasulullah
pernah bersabda perihal ini sebagai berikut :

عَنْ عَلِيِّ بْنِ شَيْبَانَ، وَكَانَ مِنْ الْوَفْدِ، قَالَ:
خَرَجْنَا حَتَّى قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ،
وَصَلَّيْنَا خَلْفَهُ، قال: ثُمَّ صَلَّيْنَا وَرَاءَهُ صَلَاةً أُخْرَى، فَقَضَى
الصَّلَاةَ، فَرَأَى رَجُلًا فَرْدًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ، قَالَ: فَوَقَفَ
عَلَيْهِ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ انْصَرَفَ،
قَالَ: “اسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ، لَا صَلَاةَ لِلَّذِي خَلْفَ الصَّفِّ”
. رواه ابن ماجه

Dari Ali bin Syaiban, ia termasuk dari utusan
(kepada Rasulullah), ia berkata,’Kami keluar hingga sampai di depan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian kami membaiatnya. Kamipun juga sholat di
belakang beliau.’ Ia berkata,’Kemudian kamipun sholat lagi di belakang beliau
dengan sholat yang lain. Beliau pun menyelesaikan sholatnya kemudian melihat
seseorang sholat di belakang shof sendirian.’ Ia berkata,’Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun berdiri di depannya ketika ia sudah selesai (sholat) dan
bersabda,”Ulangilah sholatmu, (karena) tidak ada sholat bagi orang yang
di belakang shof
“.

            HR. Ibnu
Majah

        Hadits di
atas ialah hadits yang menjadi akar perbedaan pendapat di kalangan ulama
tentang sah tidaknya sholat orang di belakang shof sendirian. Secara garis
beras, pendapat ulama dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu :

        Pertama, pendapat Imam Ahmad dan Ishaq yang mengatakan
bahwa sholat orang yang berada di belakang shof sendirian itu tidak sah. Baik
itu karena ada sebab tertentu maupun tidak ada sebab sama sekali. Beliau berpendapat
demikian berdasarkan dhahir dari hadits di atas. Menurut beliau, karena
Rasulullah memerintah orang tersebut untuk mengulangi sholatnya karena ia
berada di belakang shof sendirian, maka hal itu menunjukan bahwa sholatnya
tidak sah. [1]

        Kedua, pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan
bahwa sholat orang di belakang shof sendirian itu sah selama ia tidak bisa masuk
ke shof depannya. Beliau berpendapat demikan karena menurut beliau sholat
dengan bershaf itu adalah suatu kewajiban. Namun, lanjut beliau, apabila
kewajiban sholat bershaf itu tidak bisa dilakukan, kewajiban itu gugur. Sebagaimana
sholat dengan berdiri itu ialah suatu kewajiban. Namun, apabila kewajiban itu
tidak bisa dilakukan, baik itu karena sakit atau yang lain, maka kewajiban
berdiri ketika sholat itu gugur. [2]

        Ketika, pendapat mayoritas ulama yang mengatakan
bahwa sholat di belakang shof sendirian itu makruh namun tidak membatalkan
sholat. [3]
Lantas, bagaimana dengan perintah Nabi kepada orang yang sholat sendirian di belakang
shof untuk mengulangi sholatnya, bukankah itu menunjukan sholatnya tidak sah?
Ulama yang berpegang pada pendapat ini mengatakan bahwa perintah Rasul tersebut
hanyalah sebuah anjuran saja, bukan menunjukan suatu kewajiban. [4]
Apa landasan mayoritas ulama tersebut untuk mengatakan bahwa perintah Rasul itu
bukanlah sebuah kewajiban? Bukankah dalam kaedah ushul fiqh bahwa hukum asal
sebuah perintah itu adalah wajib? Untuk menjawab itu, As-Suyuthi dalam Syarah
Sunan Ibnu Majah menerangkan bahwa yang menjadikan perintah itu tidak
menunjukan suatu kewajiban (sharif) ialah hadits Abi Bakrah dalam Shahih
Bukhari yang menceritakan adanya seseorang yang rukuk terlebih dahulu sebelum
ia sampai ke shof. Bukankah itu menunjukan bahwa ia sholat sendirian di
belakang shof? Rasul pun ketika melihat hal itu bahkan mendoakan ia ‘Semoga
Allah menambah semangatmu, namun jangan kamu ulangi’. Itu alasan pertama. [5]
Alasan kedua, menurut Imam Asy-Syafi’i, pada hadits Ibnu Majah tersebut ada seorang
rawi yang bermasalah. Beliau pun mengatakan, ‘Apabila memang hadits ini shahih,
pasti aku akan berpegang dengan hadits ini”. [6]

        Pemasalahan
selanjutnya ialah, apabila memang sholat sendiri di belakang shof itu membatalkan
sholat -sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ahmad-, atau paling tidak, hal
itu adalah makruh -sebagaimana pendapat mayoritas ulama-, lantas apa yang yang
harus dilakukan seseorang ketika shof depannya sudah penuh sedangkan ia tidak
bisa masuk ke shof tersebut?

        Imam Ath-Thobari,
Imam Malik dan mayoritas Syafiiyyah berpendapat bahwa ia tetap diperbolehkan
sholat sendirian di shof tersebut dan tidak perlu menarik orang yang ada di
depannya. Hal itu karena, apabila ia menarik orang tersebut berarti ia
menghilangkan fadhilah sholat di shof depan dari orang tersebut. Selain itu,
apabila ia menarik orang yang ada di depannya, hal itu membuat shof menjadi
renggang. Sedangkan apabila shof renggang maka setan akan mengganggu melalui
sela-sela shof tersebut. Adapun Atha, Ibrahim An-Nakha’iy berpendapat bahwa
orang yang tidak mendapatkan shof lagi, ia boleh menarik orang yang ada di
depannya untuk sholat di sampingnya. Sedangkan Imam Ahmad dan Ishaq menganggap
hal itu suatu hal yang buruk untuk dilakukan. Imam Malik dan Al-Auzaiy pun juga
membenci hal tersebut. [7]

        Ulama-ulama
yang mengatakan bolehnya menarik orang yang ada di depannya itu berdalih dengan
sebuah dirawat dari Wabishah yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thobari dan
Al-Baihaqiy. Selain Riwayat itu, ada Riwayat lain dalam Al-Marasil yang senada
dengan Riwayat Wabishah tersebut. Meskipun demikian, kedua Riwayat tersebut lemah
karena adanya rawi matruk dan mursal sehingga tidak kuat untuk dijadikan hujjah.
[8]
[]



[1] Al-Arnauth, Sunan Ibnu Majah Tahqiq Al-Arnauth, Jld.
2, Hlm. 136.

[2] Ibnu Taimiyah, Al-Fatawa, Jld. 23, Hlm. 397.

[3] As-Suyuthi, Syarah Ibnu Majah, Hlm. 71.

[4] Al-Khattabiy, Maalimus Sunan, Jld. 1, hlm . 185.

[5] As-Suyuthi, Syarah Ibnu Majah, Hlm. 71.

[6] Al-Ainiy, Umdatul Qari, Jld. 6, Hlm. 56.

[7] Asy-Syaukaniy, Nailul Authar, Jld. 3, Hlm. 221.

[8] Asy-Syaukaniy, Nailul Authar, Jld. 3,
Hlm. 221.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *