Qiyas
Lughawi : Sebuah Metode Istimbat Hukum Islam
Hukum fiqih dalam Islam memang sangat unik. Sebagaimana yang
disebutkan dalam sebuah istilah bahwa hukum Islam itu shalihun likulli zaman
wa makan, Islam itu akan tetap eksis di setiap waktu dan tempat. Nah, berkaitan
dengan hal itu, pada era modern saat ini, tantangan Islam untuk menjawab hukum
Islam yang berkembang di masyarakat sangat beragam. Berbagai permasalahan yang
dulu di zaman Nabi belum ada, kini mulai bermunculan. Semisal, “Bolehkah
narkotika disebut dengan khamr?” atau “Bolehkah koruptor disamakan dengan
pencuri?” dsb. Untuk menjawab pertanyaan di atas, selain menggunakan qiyas
syar’I seperti halnya Al-Qur’an, Hadits dan ijmak , terdapat salah
satu metode lain dalam menentukan hukum tersebut yang juga bisa digunakan,
yaitu Qiyas lughawi. Nah, untuk saat ini, kita akan mencoba menggunakan
metode qiyas lughawi tersebut dalam menentukan suatu hukum fiqih.
disebutkan dalam sebuah istilah bahwa hukum Islam itu shalihun likulli zaman
wa makan, Islam itu akan tetap eksis di setiap waktu dan tempat. Nah, berkaitan
dengan hal itu, pada era modern saat ini, tantangan Islam untuk menjawab hukum
Islam yang berkembang di masyarakat sangat beragam. Berbagai permasalahan yang
dulu di zaman Nabi belum ada, kini mulai bermunculan. Semisal, “Bolehkah
narkotika disebut dengan khamr?” atau “Bolehkah koruptor disamakan dengan
pencuri?” dsb. Untuk menjawab pertanyaan di atas, selain menggunakan qiyas
syar’I seperti halnya Al-Qur’an, Hadits dan ijmak , terdapat salah
satu metode lain dalam menentukan hukum tersebut yang juga bisa digunakan,
yaitu Qiyas lughawi. Nah, untuk saat ini, kita akan mencoba menggunakan
metode qiyas lughawi tersebut dalam menentukan suatu hukum fiqih.
Apa itu qiyas lughawi ? Qiyas lughawi ialah sebuah
pendekatan fiqih untuk menentukan suatu hukum dengan menganalogikan suatu
istilah terhadap istilah yang lain. Kita ambil contoh khamr. Khamr dalam bahasa
Arab ialah semua minuman yang dapat membuat mabuk orang yang meminumnya (maa
yukhammirul aql). Sedangkan narkotika, mempunyai sifat yang sama
sebagaimana khamr yaitu sama-ssama membuat mabuk dan menutupi akal sehat yang
meminumnya. Sehingga, apakah boleh, narkotika itu disebut dengan khamr?
Kemudian, kalau boleh, apa faedah yang dapat kita ambil dengan dibolehkannya qiyas
lughawi tersebut ? Dan kalau tidak boleh, faedah apa yang dapat kita ambil
?
pendekatan fiqih untuk menentukan suatu hukum dengan menganalogikan suatu
istilah terhadap istilah yang lain. Kita ambil contoh khamr. Khamr dalam bahasa
Arab ialah semua minuman yang dapat membuat mabuk orang yang meminumnya (maa
yukhammirul aql). Sedangkan narkotika, mempunyai sifat yang sama
sebagaimana khamr yaitu sama-ssama membuat mabuk dan menutupi akal sehat yang
meminumnya. Sehingga, apakah boleh, narkotika itu disebut dengan khamr?
Kemudian, kalau boleh, apa faedah yang dapat kita ambil dengan dibolehkannya qiyas
lughawi tersebut ? Dan kalau tidak boleh, faedah apa yang dapat kita ambil
?
Para ulama dalam hal Qiyas Lughawi ini sebagaimana yang
disebutkan dalam kitab Raudhatun Nadhir dan Al Mushtashfa
sedikitnya terbagi menjadi dua kelompok. Yaitu, kelompok yang membolehkan dan
kelompok yang melarang qiyas tersebut. Namun, Syekh Muhammad Al Amin
Asy-Syinqithi menambahkan satu kelompok lain yaitu ulama yang membolehkan qiyas
lughawi tersebut hanya pada kata hakiki saja dan tidak boleh pada kata majaz.
disebutkan dalam kitab Raudhatun Nadhir dan Al Mushtashfa
sedikitnya terbagi menjadi dua kelompok. Yaitu, kelompok yang membolehkan dan
kelompok yang melarang qiyas tersebut. Namun, Syekh Muhammad Al Amin
Asy-Syinqithi menambahkan satu kelompok lain yaitu ulama yang membolehkan qiyas
lughawi tersebut hanya pada kata hakiki saja dan tidak boleh pada kata majaz.
Ulama
yang Membolehkan Qiyas Lughawi
Ulama yang membolehkan qiyas ini diantaranya adalah Fakhruddin
Ar-Razi dan Asy-Syirazi dari kalangan Syafi’iyyah, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajib dan
Abu Ya’la dari kalangan Hanabilah dan sebagian ulama Malikiyyah. Di antara
dalil yang mereka gunakan adalah :
Ar-Razi dan Asy-Syirazi dari kalangan Syafi’iyyah, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajib dan
Abu Ya’la dari kalangan Hanabilah dan sebagian ulama Malikiyyah. Di antara
dalil yang mereka gunakan adalah :
1.
فاعتبروا يا
أولى الأبصار , Maka kalian ambillah
ibrah wahai orang-orang yang mempunyai akal pikiran [Al-Hasyr : 2] . Ayat
ini merupakan sebuah ayat umum (aam) yang berisi perintah Allah kepada
semua orang beriman untuk mentadaburi ayat-ayat Allah baik itu syar’iyyah maupun
kauniyyah. Melalui ayat ini pula, para ulama mengambil istimbat bolehnya
menganalogikan sebuah hukum Islam dengan hukum Islam yang lain selama ada
sebuah sebab (illah) yang mengikat keduanya. Begitu pun dalam hal qiyas
lughawi ini, dengan ayat ini mereka membolehkan analogi suatu istilah dalam
bahasa Arab dengan istilah yang lain selama ada sebuah sifat yang saling
mengikat keduanya.
فاعتبروا يا
أولى الأبصار , Maka kalian ambillah
ibrah wahai orang-orang yang mempunyai akal pikiran [Al-Hasyr : 2] . Ayat
ini merupakan sebuah ayat umum (aam) yang berisi perintah Allah kepada
semua orang beriman untuk mentadaburi ayat-ayat Allah baik itu syar’iyyah maupun
kauniyyah. Melalui ayat ini pula, para ulama mengambil istimbat bolehnya
menganalogikan sebuah hukum Islam dengan hukum Islam yang lain selama ada
sebuah sebab (illah) yang mengikat keduanya. Begitu pun dalam hal qiyas
lughawi ini, dengan ayat ini mereka membolehkan analogi suatu istilah dalam
bahasa Arab dengan istilah yang lain selama ada sebuah sifat yang saling
mengikat keduanya.
2.
Qiyas lughawi boleh dilakukan
karena syariat membolehkan qiyas syar’i. Secara sederhana, dalil kedua ini dapat
disampaikan sebagai berikut,”Apabila qiyas syar’i saja boleh, mengapa qiyas
lughawi itu tidak boleh?”
Qiyas lughawi boleh dilakukan
karena syariat membolehkan qiyas syar’i. Secara sederhana, dalil kedua ini dapat
disampaikan sebagai berikut,”Apabila qiyas syar’i saja boleh, mengapa qiyas
lughawi itu tidak boleh?”
3.
Menganalogikan qiyas lughawi dengan
tashrif dalam ilmu shorof. Artinya, apabila secara bahasa lafal fail (فاعل) itu pecahan dari kata fa’ala (فعل)
mengapa dalam qiyas lughawi ini tidak boleh ?
Menganalogikan qiyas lughawi dengan
tashrif dalam ilmu shorof. Artinya, apabila secara bahasa lafal fail (فاعل) itu pecahan dari kata fa’ala (فعل)
mengapa dalam qiyas lughawi ini tidak boleh ?
4.
Sebagian ulama lughah secara nash
menyatakan bolehnya qiyas lughawi tersebut, diantaranya adalah Ibnul
Jinniy.
Sebagian ulama lughah secara nash
menyatakan bolehnya qiyas lughawi tersebut, diantaranya adalah Ibnul
Jinniy.
Ulama
yang Tidak Membolehkan Qiyas Lughawi
Ulama yang tidak membolehkan qiyas lughawi ini diantaranya
adalah Al-Ghazali dalam kitabnya Al Mustashfa dari madzhab Syafiiyyah,
Abu Khattab dari madzhab Hanabilah dan mayoritas dari ulama madzhab Hanafiyyah.
Di antara dalil yang mereka gunakan ialah :
adalah Al-Ghazali dalam kitabnya Al Mustashfa dari madzhab Syafiiyyah,
Abu Khattab dari madzhab Hanabilah dan mayoritas dari ulama madzhab Hanafiyyah.
Di antara dalil yang mereka gunakan ialah :
1.
Orang Arab ketika menamakan sesuatu
itu tidak keluar dari tiga hal : Pertama, nama itu khusus untuk hal itu
saja dan tidak bisa digunakan untuk nama yang lain, seperti nama Muhammad untuk
fulan yang berwajah rupawan. Maka tidak boleh, semua orang yang berwajah
rupawan disebut dengan Muhammad. Kedua, nama itu umum untuk segala hal
yang mempunyai kesamaan sifat. Misalnya, orang Arab apabila mempunyai kuda
hitam, sering mereka menyebutnya dengan adham. Maka, setiap ada kuda
yang berwarna hitam boleh disebut dengan adham. Ketiga, bisa jadi
kata ini termasuk golongan yang pertama, bisa jadi juga termasuk golongan yang
kedua. Nah, apabila kemungkinan-kemungkinan itu ada, dan tidak bisa dipastikan,
maka tidak bisa dijadikan dalil bolehnya menganalogikan suatu kata dengan kata
yang lain. Dalam kaedah Ushul Fiqh disebutkan, idza warada fiihi ihtimal
bathala istidlal ‘apabila kemungkinan-kemungkinan itu ada, maka ia tidak
bisa dijadikan dalil’.
Orang Arab ketika menamakan sesuatu
itu tidak keluar dari tiga hal : Pertama, nama itu khusus untuk hal itu
saja dan tidak bisa digunakan untuk nama yang lain, seperti nama Muhammad untuk
fulan yang berwajah rupawan. Maka tidak boleh, semua orang yang berwajah
rupawan disebut dengan Muhammad. Kedua, nama itu umum untuk segala hal
yang mempunyai kesamaan sifat. Misalnya, orang Arab apabila mempunyai kuda
hitam, sering mereka menyebutnya dengan adham. Maka, setiap ada kuda
yang berwarna hitam boleh disebut dengan adham. Ketiga, bisa jadi
kata ini termasuk golongan yang pertama, bisa jadi juga termasuk golongan yang
kedua. Nah, apabila kemungkinan-kemungkinan itu ada, dan tidak bisa dipastikan,
maka tidak bisa dijadikan dalil bolehnya menganalogikan suatu kata dengan kata
yang lain. Dalam kaedah Ushul Fiqh disebutkan, idza warada fiihi ihtimal
bathala istidlal ‘apabila kemungkinan-kemungkinan itu ada, maka ia tidak
bisa dijadikan dalil’.
2.
Tidak boleh menganalogi suatu nama
pada diri seseorang ke orang lain. Artinya, sebagaimana yang disebutkan di
atas, apabila ada seorang rupawan yang bernama Muhammad, maka tidak boleh semua
yang rupawan disebut Muhammad. Atas dasar ini pula, qiyas lughawi itu
tidak bisa dilakukan.
Tidak boleh menganalogi suatu nama
pada diri seseorang ke orang lain. Artinya, sebagaimana yang disebutkan di
atas, apabila ada seorang rupawan yang bernama Muhammad, maka tidak boleh semua
yang rupawan disebut Muhammad. Atas dasar ini pula, qiyas lughawi itu
tidak bisa dilakukan.
3.
Orang Arab apabila menamakan sesuatu
pasti menamakan hal itu karena suatu hal yang menjadi kekhususan suatu
tersebut. Sehingga tidak boleh dianalogikan kepada sebuah nama yang lain.
Orang Arab apabila menamakan sesuatu
pasti menamakan hal itu karena suatu hal yang menjadi kekhususan suatu
tersebut. Sehingga tidak boleh dianalogikan kepada sebuah nama yang lain.
Ulama
yang Mengatakan Boleh pada Kata Hakiki Saja
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa ulama yang
berpendapat demikian disebutkan oleh Syekh Muhammad Amin Asy-Syinqithi dalam
kitabnya Mudzakkirah Ushulul Fiqh. Namun, dalam kitab tersebut beliau
tidak menyebutkan satu dalil pun yang menjadi landasan para ulama tersebut.
berpendapat demikian disebutkan oleh Syekh Muhammad Amin Asy-Syinqithi dalam
kitabnya Mudzakkirah Ushulul Fiqh. Namun, dalam kitab tersebut beliau
tidak menyebutkan satu dalil pun yang menjadi landasan para ulama tersebut.
Konsekwensi
Qiyas Lughawi
Lantas, pertanyaan selanjutnya yang perlu kita jawab adalah, ‘Apa
konsekwensi apabila kita mengetahui boleh tidaknya qiyas lughawi dalam
konteks menentukan suatu hukum fiqih?’
konsekwensi apabila kita mengetahui boleh tidaknya qiyas lughawi dalam
konteks menentukan suatu hukum fiqih?’
Jawabnya ialah, hal itu berkaitan dengan qiyas syar’i. Kita ambil
contoh sebagai berikut : Narkotika apakah bisa disebut dengan khamr ? Bagi
ulama yang membolehkan qiyas lughawi dan mengatakan bahwa narkotika itu adalah
sama dengan khamr, maka mereka tidak perlu qiyas syar’I untuk menentukan hukum
narkotika. Artinya, otomatis narkotika itu haram dengan sendirinya karena ia
boleh disebut dengan khamr, dan khamr itu secara nash diharamkan dalam Islam,
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 3 surat Al-Ma’idah. Namun, bagi ulama
yang tidak membolehkan qiyas lughawi, untuk menentukan apakah narkotika itu sama
dengan khamr, maka ia harus melalukan qiyas syar’i terlebih dahulu. Karena
dalam Al Qur’an tidak ada nash sharih yang menyatakan bahwa narkotika itu
haram.
contoh sebagai berikut : Narkotika apakah bisa disebut dengan khamr ? Bagi
ulama yang membolehkan qiyas lughawi dan mengatakan bahwa narkotika itu adalah
sama dengan khamr, maka mereka tidak perlu qiyas syar’I untuk menentukan hukum
narkotika. Artinya, otomatis narkotika itu haram dengan sendirinya karena ia
boleh disebut dengan khamr, dan khamr itu secara nash diharamkan dalam Islam,
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 3 surat Al-Ma’idah. Namun, bagi ulama
yang tidak membolehkan qiyas lughawi, untuk menentukan apakah narkotika itu sama
dengan khamr, maka ia harus melalukan qiyas syar’i terlebih dahulu. Karena
dalam Al Qur’an tidak ada nash sharih yang menyatakan bahwa narkotika itu
haram.
Sebagai contoh yang lain adalah kata al jama’ah. Secara urf
orang Arab, dua orang yang bersama dalam suatu tindakan itu disebut dengan
jamaah. Lantas, apakah boleh urf tersebut dibawa dalam ranah syariat ? seperti,
apakah dua orang yang sholat bersamaan dapat disebut dengan sholat berjamaah? Bagi
yang membolehkan qiyas lughawi , mereka mengatakan bahwa dua orang yang
melalukan sholat secara bersamaan itu sudah disebut sebagai sholat berjamaah.
Namun, bagi yang tidak membolehkan, sholat dua orang itu bukan sholat jamaah
karena paling sedikit jamak itu adalah tiga.
orang Arab, dua orang yang bersama dalam suatu tindakan itu disebut dengan
jamaah. Lantas, apakah boleh urf tersebut dibawa dalam ranah syariat ? seperti,
apakah dua orang yang sholat bersamaan dapat disebut dengan sholat berjamaah? Bagi
yang membolehkan qiyas lughawi , mereka mengatakan bahwa dua orang yang
melalukan sholat secara bersamaan itu sudah disebut sebagai sholat berjamaah.
Namun, bagi yang tidak membolehkan, sholat dua orang itu bukan sholat jamaah
karena paling sedikit jamak itu adalah tiga.
Terlepas boleh tidaknya qiyas lughawi tersebut, para ulama
telah menyepakati bahwa ada beberapa istilah dalam Islam yang tidak boleh sama
sekali diqiyaskan, yaitu segala istilah yang digunakan dalam hal peribadahan (al
muta’abbad bih). Semisal kata sholat. Sholat adalah sebuah ibadah yang
diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan doa-doa yang khusus dan
dengan tata cara yang khusus. Itu adalah hakekat shalat. Maka tidak boleh istilah
shalat disamakan dengan istilah ‘dzikir kepada Allah’. Sehingga seseorang yang
berdzikir kepada Allah selama ia belum melakukan sholat sebagaimana pengertian
syar’i nya, maka ia tidak bisa disebut ‘telah melakukan sholat’.
telah menyepakati bahwa ada beberapa istilah dalam Islam yang tidak boleh sama
sekali diqiyaskan, yaitu segala istilah yang digunakan dalam hal peribadahan (al
muta’abbad bih). Semisal kata sholat. Sholat adalah sebuah ibadah yang
diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan doa-doa yang khusus dan
dengan tata cara yang khusus. Itu adalah hakekat shalat. Maka tidak boleh istilah
shalat disamakan dengan istilah ‘dzikir kepada Allah’. Sehingga seseorang yang
berdzikir kepada Allah selama ia belum melakukan sholat sebagaimana pengertian
syar’i nya, maka ia tidak bisa disebut ‘telah melakukan sholat’.
Kesimpulannya, qiyas lughawi ini seakan menjadi sebuah
alternative dalam menentukan suatu hukum fiqih dengan lebih simpel tanpa harus
memakai qiyas syar’I terlebih dahulu. Tentu ini bagi ulama yang membolehkan,
kalau antum pilih yang mana? [bfr]
alternative dalam menentukan suatu hukum fiqih dengan lebih simpel tanpa harus
memakai qiyas syar’I terlebih dahulu. Tentu ini bagi ulama yang membolehkan,
kalau antum pilih yang mana? [bfr]
Referensi :
1.
Raudhatun Nadhir, susunan Ibnu
Qudamah Al Maqdisi Al Hanbali.
Raudhatun Nadhir, susunan Ibnu
Qudamah Al Maqdisi Al Hanbali.
2. Al Mushtashfa, susunan Al-Ghazali Asy-Syafi’i.
3. Fathul Waliyyin Nashir Syarh Raudhatun Nadhir, susunan Dr.
Ali Al-Uwaijiy.
Ali Al-Uwaijiy.
4. Mudzakkiroh Ushulil Fiqh, susunan Syekh Muhammad Al Amin Asy-Syanqithiy.
5.
Intisasi keterangan Syekh Badr
Khudayr Turky Al Makhlafiy dalam dirasah beliau.
Intisasi keterangan Syekh Badr
Khudayr Turky Al Makhlafiy dalam dirasah beliau.
Suka menulis, membaca dan belajar. Alumni Islamic University of Madinah dan kini sedang melanjutkan study di fakultas Studi Islam UMJ.