Menu Tutup

Pengemis dengan Hasil Fantastis

 

Pengemis dengan Hasil Fantastis

Ide penulisan artikel ini bermula ketika kami
bertiga, saya, teman saya dan salah satu guru di pondok pesantren kami duduk
menyeduh kopi di salah satu warung pinggir sekolah. Di warung yang sangat
sederhana itu, seorang nenek yang sudah tua berdiri tegak di samping
dagangannya. Dengan sangat ramah, mbah putri itu bertanya,”Bade ngunjuk
nopo mas?
” (Mau minum apa mas?). Saya yang pada saat itu posisi
duduknya paling dekat dengan mbah putri itu menjawab,”Kopi goodd*y
engkang coklat mbah
.” Memang selera kopi saya, menurut teman yang
duduk di samping saya tergolong lemah. Bukan penggiat kopi sejati. Kopi saya
langsung memesan kopi hitam favoritnya sedangkan guru pesantren kami memesan
teh hangat.

Sembari menunggu minuman yang kami pesan, salah
seorang perempuan berbadan gemuk dengan gigi bagian depan yang sebagian sudah lepas
karena termakan usia mulai membuka pembicaraan dengan kami,”Saking
pundi mas?
” (Darimana mas?) “Saking Caruban bu, niki nenggo
lare-lare lomba
.” (Dari Caruban bu, ini menunggu anak-anak yang sedang
lomba), jawab saya. Memang salah satu tujuan kami di sekolahan itu pagi itu
adalah mengantarkan santri-santri kami mengikuti lomba porseni.

Mbah putri datang dengan membawa tiga minuman
pesanan kami. Sembari menyantap kopi hangat ditemani gorengan yang masih panas,
ibu di depan kami tadi berbincang-bincang banyak dengan kami. Salah satu hal
yang beliau ceritakan ialah,”Sekolah sekarang itu enak ya mas. Udah
dapat bantuan dari sekolahan dan tidak bayar. Anak saya dulu bayar sekolah
perbulan itu lima juta mas. Sampe saya harus berjuang kesana-kemari mencari
uang
.” Kami yang mendengar cerita beliau, mengangguk-angguk tanda
setuju. Hingga salah satu dari kami bertanya,”Jenengan sekarang nyambut
nopo bu?
” (Sekarang anda kerja apa bu?). Beliau menjawab,”Kulo
namun ngamen mas.
” (Saya hanya pengamen mas). Teman saya yang duduk di
samping saya sedikit mengangkat dahinya, seakan merasa kaget. “Yugo
kulo engkang kulo sekolah aken ndek wau mboten purun lanjut kuliah
. Pengen
kerja di luar negeri. Sekarang sudah kerja di Malaysia mas. Sebenarnya dia
sudah membuatkan saya toko kecil untuk berdagang mas. Tapi ternyata hasilnya
kecil dibanding ngamen. Akhirnya saya ngamen lagi mas. Meskipun kalau ditanya
anak, tokonya tetap jalan,” cerita itu tadi dengan panjang lebar.

Nah, karena ucapan ibu itu bahwa hasil mengemis itu
lebih bisa dijanjikan daripada hasil berdagang, saya terlegilik untuk meneliti
lebih lanjut tentang hal ini. Apakah betul apa yang ibu itu ucapkan ?

 Baca juga,”Bertemu Para Nabi, Hikmah Dibalik Isra dan Miraj

 

Hasil yang Menjanjikan

“Jangan beri uang kepada pengemis yang ada di perempatan,”
kira-kira seperti itu bunyi perda-perda di beberapa daerah di Indonesia. Bukan
karena apa-apa, larangan memberi uang kepada para pengemis itu bukan karena
kita pelit atau medit. Ternyata, ada tujuan di balik perda itu.

Coba kita hitung, bagi anda yang bekerja sebagai
kuli bangunan, selama satu pekan dengan hitungan enam hari kerja, anda mungkin
hanya akan mendapatkan uang 720 ribu rupiah. Dengan asumsi gaji perhari 120
ribu. Satu bulan, apabila anda masuk terus selama 6×4 pekan, maka anda akan
mendapatkan gaji sebesar Rp. 2.880.000,- perbulan. Dengan catatan, jam kerjanya
mulai pukul 7 pagi hingga 4 sore. Dengan beban kerja yang lebih ke fisik. Mengangkat
barang hingga mengaduk semen.

Bagi anda yang sekarang sedang kerja sebagai guru
honorer, gaji 2.880.000 perbulan itu bisa dibilang sangat tinggi. Paling pol,
gaji guru honorer di daerah Madiun ialah satu jutaan. Itu udah bagus. Belum
lagi yang ngajar di pelosok gunung wilis dengan gaji yang hanya cukup untuk
beli bensin pulang pergi setiap bulan.

Sedangkan bagi pengemis yang ada di perempatan, apabila
kita asumsikan setiap lampu merah menyala selama dua menit di setiap lima menit
sekali, ia mendapatkan 2000 rupiah saja, maka selama satu jam, pengemis itu
akan mendapatkan Rp. 24.000,- (60 : 5 x 2000). Apabila jam kerja pengemis itu
di kantornya (perempatan jalan) mulai dari pukul 8 pagi hingga 2 siang, maka
uang yang akan didapatkan selama 7 jam itu ialah Rp. 168.000,- (24.000 x 7). Ketika
pengemis itu rajin masuk dan hanya mengambil cuti di hari minggu saja, maka
selama satu pekan ia akan mendapatkan Rp. 1.008.000,- (168.000 x 6). Artinya,
selama satu bulan, pengemis itu akan mendapatkan pemasukan kotor sebesar Rp. 4.032.000,-
(1.008.000 x 4). Dua kali lipat gaji kuli bangunan dengan beban kerja yang
lebih berat dan empat kali lebih besar dari guru honorer yang bergaji satu juta
perbulan. Menarik bukan ? Hmmm.

Baca juga,”Kenapa Perlu Beribadah, Bukankah Berbuat Baik Saja Sudah Cukup?

 

Mengemis, antara Perda dan Agama

Itulah mengapa banyak perda dan agama yang melarang
penduduk serta pengikutnya untuk menjadi pengemis. Seperti perda Kabupaten
Madiun, nomor 8 tahun 2010 tentang penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban
umum. Dalam perda itu, bagi siapa saja yang memberi atau meminta-minta di
perempatan akan mendapatkan hukuman denda maupun penjara.

Agama pun turut andil dalam pencegahan sifat
meminta-minta ini. Dalam Islam, yang boleh minta-minta hanya tiga golongan
saja. Pertama, seseorang yang berusaha mendamaikan dua suku atau kelompok yang
sedang berperang dengan menanggung seluruh beban perang padahal ia tidak punya
uang. Kedua, seseorang yang terkena musibah sehingga hartanya musnah. Ketiga
ialah orang miskin yang sudah mendapatkan pengakuan dari tiga tokoh daerah
tempat ia tinggal bahwa ia benar-benar miskin. Ketiga golongan ini boleh
meminta-minta dengan syarat ia harus berhenti dari hal itu apabila uangnya
sudah cukup. Bahkan di hadits lain, Rasulullah mengatakan bahwa hukuman orang
yang suka meminta-minta padahal ia punya di hari kiamat ialah dengan mencakar daging
wajahnya sendiri hingga habis.

Selain itu, meskipun mengemis itu menjanjikan dari
segi materi, namun sangat berbahaya bagi kesehatan mental. Orang yang terbiasa
meminta-minta akan merasa nyaman dengan hal itu dan akhirnya tidak mau bekerja.
Apabila hal ini terus dibiarkan, maka akan menhasilkan orang-orang yang malas
hingga akhirnya minim kreatifitas dan produksi. Minim kreatifitas karena seni
dalam meminta-minta itu yaaa gitu-gitu aja. Minim produksi karena orang yang
meminta-minta itu tidak memproduksi apapun kecuali hanya kemalasan.

Oleh kerena itu, sangat cocok apabila ungkapan ini
disebarkan “jangan memberi uang kepada pengemis yang ada di
perempatan” supaya anda ikut andil dalam membangun manusia-manusia yang
lebih produktif dan tidak malas. Serta setidaknya anda ikut berperan dalam
pembangunan SDM negara meskipun hanya sedikit. []

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *