Bilal Fahrur Rozie
Dr. Adian Husaini menukil sebuah tulisan dari AMW Pranaka bahwa
yang dimaksud dengan epistemologi itu ialah cabang ilmu filsafat yang membahas
ilmu pengetahuan secara menyeluruh dan mendasar. Atau secara ringkas,
epistemology itu disebut sebagai “theory of knowledge”. Selanjutnya, beliau juga menyatakan bahwa
epistemology itu berbicara tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia
bisa meraih ilmu. [1]
yang dimaksud dengan epistemologi itu ialah cabang ilmu filsafat yang membahas
ilmu pengetahuan secara menyeluruh dan mendasar. Atau secara ringkas,
epistemology itu disebut sebagai “theory of knowledge”. Selanjutnya, beliau juga menyatakan bahwa
epistemology itu berbicara tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia
bisa meraih ilmu. [1]
Kalau saya boleh menjelaskan, epistemology ini merupakan pijakan
utama seseorang dalam melihat sebuah ilmu tententu. Ia merupakan kaca mata awal
bagi seseorang untuk mengambil sikap terhadap ilmu tersebut. Melalui
epistemology ini, seseorang akan bisa menjadi sekuler, liberal atau humanis
tergantung kepada teori epistemology mana yang ia pakai. Karena sangat
pentingnya epistemology ini, maka tidak diherankan apabila ilmu ini yang
pertama kali harus dikuasai oleh seorang peneliti apabila ia ingin meneliti
sesuatu.
utama seseorang dalam melihat sebuah ilmu tententu. Ia merupakan kaca mata awal
bagi seseorang untuk mengambil sikap terhadap ilmu tersebut. Melalui
epistemology ini, seseorang akan bisa menjadi sekuler, liberal atau humanis
tergantung kepada teori epistemology mana yang ia pakai. Karena sangat
pentingnya epistemology ini, maka tidak diherankan apabila ilmu ini yang
pertama kali harus dikuasai oleh seorang peneliti apabila ia ingin meneliti
sesuatu.
Dalam konteks pembahasan kita sekarang, apakah epistemology itu
sangat berpengaruh terhadap konsep teori Ushul Fiqh? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, kita akan mengambil salah satu pembahasan dalam ushul fiqh, yaitu ‘Apakah
amr (perintah) dalam nash Al Qur’an dan sunnah itu mempunyai shighah (bentuk
kata) dalam bahasa Arab atau tidak”. Pembahasan itu setidaknya akan memberikan
gambar kepada kita apakah epistemology itu berpengaruh dalam teori Ushul Fiqh
atau tidak.
sangat berpengaruh terhadap konsep teori Ushul Fiqh? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, kita akan mengambil salah satu pembahasan dalam ushul fiqh, yaitu ‘Apakah
amr (perintah) dalam nash Al Qur’an dan sunnah itu mempunyai shighah (bentuk
kata) dalam bahasa Arab atau tidak”. Pembahasan itu setidaknya akan memberikan
gambar kepada kita apakah epistemology itu berpengaruh dalam teori Ushul Fiqh
atau tidak.
Perbedaan Ahli Ushul dalam Shighah Amr
Dalam menentukan apakah ‘amr (perintah) dalam bahasa nash Al Qur’an dan
sunnah itu mempunyai shighah (bentuk kata) ataukah tidak, para ahli
uhsul fiqh setidaknya berbeda pendapat menjadi dua kelompok : [2]
sunnah itu mempunyai shighah (bentuk kata) ataukah tidak, para ahli
uhsul fiqh setidaknya berbeda pendapat menjadi dua kelompok : [2]
1.
Amr (perintah) mempunyai
shighah (bentuk kata). Salah satunya shighahnya ialah dengan افعل . Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama,
diantaranya adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy Syafii, Imam Ahmad
bin Hanbal, Al Baji dari Madzhab Malikiyyah, Abu Khattab Al Kalawdzaniy, dan
Imam Al Auzaiy. [3]
Amr (perintah) mempunyai
shighah (bentuk kata). Salah satunya shighahnya ialah dengan افعل . Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama,
diantaranya adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy Syafii, Imam Ahmad
bin Hanbal, Al Baji dari Madzhab Malikiyyah, Abu Khattab Al Kalawdzaniy, dan
Imam Al Auzaiy. [3]
2.
Amr (perintah) tidak
mempunyai shighah (bentuk kata). Maksudnya, nash Al Qur’an maupun hadits
yang berisi perintah pada hakekatnya adalah perkataan yang ada di dalam Dzat
Nya Allah saja, adapun yang kita lafalkan itu bukanlah kalam Allah Ta’ala. Itu merupakan
perkataan dari makhluk sendiri. Pendapat ini diuatarakan oleh ulama Asya’irah. [4]
Amr (perintah) tidak
mempunyai shighah (bentuk kata). Maksudnya, nash Al Qur’an maupun hadits
yang berisi perintah pada hakekatnya adalah perkataan yang ada di dalam Dzat
Nya Allah saja, adapun yang kita lafalkan itu bukanlah kalam Allah Ta’ala. Itu merupakan
perkataan dari makhluk sendiri. Pendapat ini diuatarakan oleh ulama Asya’irah. [4]
Dalil Ahli Ushul dalam Shighah Fiil Amr
Sebagaimana yang sudah saya utarakan di sub bab sebelum ini, bahwa
setidaknya para ahli ushul berbeda dalam hal ini menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama ialah yang mengatakan bahwa amr (perintah) dalam nash itu
mempunyai shighah (bentuk) dan ulama yang mengatakan bahwa shigah
(bentuk) dalam amr (perintah) itu tidak ada. Apabila kita menelisik
lebih dalam perselisihan ulama dalam bab ini, maka akan kita dapati bahwa akar
perbedaan pendapat dalam hal ini berasal dari konsep ‘Apakah kalam Allah itu
berwujud suara, huruf dan kata kerja’ ataukah ‘hanya sekedar perkataan
dalam Dzat Nya Allah saja (dalam bahasa Jawa bisa disebut mbatin) saja?’
Sekarang, kita akan memaparkan dalil dari setiap kelompok dalam menentukan
pendapat mereka :
setidaknya para ahli ushul berbeda dalam hal ini menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama ialah yang mengatakan bahwa amr (perintah) dalam nash itu
mempunyai shighah (bentuk) dan ulama yang mengatakan bahwa shigah
(bentuk) dalam amr (perintah) itu tidak ada. Apabila kita menelisik
lebih dalam perselisihan ulama dalam bab ini, maka akan kita dapati bahwa akar
perbedaan pendapat dalam hal ini berasal dari konsep ‘Apakah kalam Allah itu
berwujud suara, huruf dan kata kerja’ ataukah ‘hanya sekedar perkataan
dalam Dzat Nya Allah saja (dalam bahasa Jawa bisa disebut mbatin) saja?’
Sekarang, kita akan memaparkan dalil dari setiap kelompok dalam menentukan
pendapat mereka :
1.
Dalil Jumhur : [5]
Dalil Jumhur : [5]
·
Ayat 10 dan 11 dari Surat Maryam :
Ayat 10 dan 11 dari Surat Maryam :
قَالَ
رَبِّ اجْعَلْ لِي آيَةً قَالَ آيَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَ لَيَالٍ
سَوِيًّا (10) فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ
أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا (11)
رَبِّ اجْعَلْ لِي آيَةً قَالَ آيَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَ لَيَالٍ
سَوِيًّا (10) فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ
أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا (11)
Artinya :
“Dia (Zakariya) berkata,’Wahai Rabbku, jadikanlah sebuah bukti
untukku! Dia berkalam,’Bukti untukmu ialah bahwa kamu tidak akan bisa berbicara
kepada manusia selama tiga hari berturut-turut. Maka ia pun keluar kepada
kaumnya dari mihrab, maka ia pun memberikan isyarat kepada mereka untuk
bertasbih (kepada Allah) di waktu pagi dan petang.”
untukku! Dia berkalam,’Bukti untukmu ialah bahwa kamu tidak akan bisa berbicara
kepada manusia selama tiga hari berturut-turut. Maka ia pun keluar kepada
kaumnya dari mihrab, maka ia pun memberikan isyarat kepada mereka untuk
bertasbih (kepada Allah) di waktu pagi dan petang.”
Melalui ayat di atas, jumhur mengatakan bahwa yang namanya ‘kalam’
itu bukan perkataan dalam hati, ia pasti terdiri dari suara dan shighah juga. Sebagaimana
Nabi Zakariya yang hanya bisa memberikan isyarat ketika ia tidak bisa berbicara
sebagai bukti tentang kehamilan istrinya. Allah menyebutnya dengan kata ‘awha’
(mengisyaratkan) dan tidak menyebutnya dengan kalam meskipun dalam hati Nabi
Zakariya pasti berkata untuk memerintah mereka supaya bertasbih.
itu bukan perkataan dalam hati, ia pasti terdiri dari suara dan shighah juga. Sebagaimana
Nabi Zakariya yang hanya bisa memberikan isyarat ketika ia tidak bisa berbicara
sebagai bukti tentang kehamilan istrinya. Allah menyebutnya dengan kata ‘awha’
(mengisyaratkan) dan tidak menyebutnya dengan kalam meskipun dalam hati Nabi
Zakariya pasti berkata untuk memerintah mereka supaya bertasbih.
·
Hadits Abu Hurairah dalam Shahih
Muslim :
Hadits Abu Hurairah dalam Shahih
Muslim :
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ تَجَاوَزَ لأُمَّتِى عَمَّا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا
لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَكَلَّمْ بِهِ ». رواه مسلم
أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ تَجَاوَزَ لأُمَّتِى عَمَّا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا
لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَكَلَّمْ بِهِ ». رواه مسلم
Artinya :
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alahihi wa
sallam bersabda,”Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengampuni untuk umatku apa
yang diucapkan dalam hatinya selama ia belum mengerjakannya atau mengucapkannya.”
sallam bersabda,”Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengampuni untuk umatku apa
yang diucapkan dalam hatinya selama ia belum mengerjakannya atau mengucapkannya.”
HR. Muslim [6]
Hadits di atas secara jelas membedakan antara perkataan dalam hati
dengan perkataan yang diucapkan. Sedangkan perkataan yang sebenarnya ialah apa
yang telah ia ucapkan (takallama bih) dengan demikian, kalam itu pasti
mempunyai suara dan shighah termasuk di dalamnya amr (perintah)
dalam nash Al Quran dan Hadits.
dengan perkataan yang diucapkan. Sedangkan perkataan yang sebenarnya ialah apa
yang telah ia ucapkan (takallama bih) dengan demikian, kalam itu pasti
mempunyai suara dan shighah termasuk di dalamnya amr (perintah)
dalam nash Al Quran dan Hadits.
·
Kesepakatan ahli bahasa bahwa yang
dinamakan dengan kalam dalam bahasa Arab itu terdiri dari fiil (kata
kerja), isim (kata benda) dan harf (huruf). Dengan demikian,
kalam atau perkataan itu pasti mempunyai shighah.
Kesepakatan ahli bahasa bahwa yang
dinamakan dengan kalam dalam bahasa Arab itu terdiri dari fiil (kata
kerja), isim (kata benda) dan harf (huruf). Dengan demikian,
kalam atau perkataan itu pasti mempunyai shighah.
·
Kesepatan fuqoha bahwa apabila ada seseorang
yang bernadzar untuk tidak berbicara sama sekali kepada siapapun kemudian ia
hanya membicara dalam hati, maka dengan berbicara dalam hati itu nadzarnya
tidak batal. Hal itu menunjukan bahwa kalam (termasuk di dalamnya itu amr)
mempunyai shighah (bentuk kata).
Kesepatan fuqoha bahwa apabila ada seseorang
yang bernadzar untuk tidak berbicara sama sekali kepada siapapun kemudian ia
hanya membicara dalam hati, maka dengan berbicara dalam hati itu nadzarnya
tidak batal. Hal itu menunjukan bahwa kalam (termasuk di dalamnya itu amr)
mempunyai shighah (bentuk kata).
2.
Dalil Asya`irah :
Dalil Asya`irah :
·
Kalam Allah itu adalah apa yang ada
dalam diri Dzat Nya saja. Adapun apa yang keluar dari lisan manusia itu murni
perkataan manusia saja. Dengan demikian, kalam Allah yang beruma amr (perintah)
itu tidak mempunyai shighah (bentuk) terntentu. [7]
Kalam Allah itu adalah apa yang ada
dalam diri Dzat Nya saja. Adapun apa yang keluar dari lisan manusia itu murni
perkataan manusia saja. Dengan demikian, kalam Allah yang beruma amr (perintah)
itu tidak mempunyai shighah (bentuk) terntentu. [7]
Bukti Pengaruh Epistemologi dalam Ushul Fiqh
Dari pemaparan di atas, dapat kita ketahui bersama bahw ternyata
epistemelogi dalam Ushul Fiqh itu sangat mempengaruhi hasil akhir dari sebuah
teori ushul fiqh. Ketika jumhur mengatakan bahwa kalam Allah itu terdiri dari
suara, dan huruf, maka secara otomatis mereka akan mengatakan bahwa kalam Allah
yang berupa perintah (amr) itu pasti mempunyai shighah. Hal itu karena
memang shighah merupakan manifestasi dari suara dan huruf tersebut. Sedangkan
ulama Asya`irah mengatakan bahwa perintah Allah dalam nash itu tidak mempunyai
shighah. Hal itu berangkat dari pendapat awal mereka bahwa kalam Allah hanyalah
apa yang ada dalam diri Dzat Nya saja, bukan yang diucapkan oleh manusia.
epistemelogi dalam Ushul Fiqh itu sangat mempengaruhi hasil akhir dari sebuah
teori ushul fiqh. Ketika jumhur mengatakan bahwa kalam Allah itu terdiri dari
suara, dan huruf, maka secara otomatis mereka akan mengatakan bahwa kalam Allah
yang berupa perintah (amr) itu pasti mempunyai shighah. Hal itu karena
memang shighah merupakan manifestasi dari suara dan huruf tersebut. Sedangkan
ulama Asya`irah mengatakan bahwa perintah Allah dalam nash itu tidak mempunyai
shighah. Hal itu berangkat dari pendapat awal mereka bahwa kalam Allah hanyalah
apa yang ada dalam diri Dzat Nya saja, bukan yang diucapkan oleh manusia.
Melihat fakta di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa sangat
penting bagi kita untuk meluruskan dulu epistemology kita sebelum merumuskan
sebuah teori atau mengutarakan sebuah pendapat. Hal itu karena memang epistemology
itu sangat berpengaruh dalam menentukan sikap kita dalam hal keilmuwan ini. Apabila
kita salah dalam mengambil langkah pertama, maka langkah berikutnya akan tambah
salah dan menjerumuskan kita ke kesalahan yang lebih besar. {bfr}
penting bagi kita untuk meluruskan dulu epistemology kita sebelum merumuskan
sebuah teori atau mengutarakan sebuah pendapat. Hal itu karena memang epistemology
itu sangat berpengaruh dalam menentukan sikap kita dalam hal keilmuwan ini. Apabila
kita salah dalam mengambil langkah pertama, maka langkah berikutnya akan tambah
salah dan menjerumuskan kita ke kesalahan yang lebih besar. {bfr}
[1]
Dr. Adian Husaini et al, Filsafat Ilmu, hlm. 27.
Dr. Adian Husaini et al, Filsafat Ilmu, hlm. 27.
[2]
Ibnu Qudamah, Raudhatun Nadhir, Jld. 2, hlm. 82-83.
Ibnu Qudamah, Raudhatun Nadhir, Jld. 2, hlm. 82-83.
[3]
Ali Adh Dhuwaihiy, Fathul Waliyyin Nashir, Jld. 3, Jld. 471.
Ali Adh Dhuwaihiy, Fathul Waliyyin Nashir, Jld. 3, Jld. 471.
[4] Ali
Adh Dhuwaihiy, Fathul Waliyyin Nashir, Jld. 3, Jld. 472.
Adh Dhuwaihiy, Fathul Waliyyin Nashir, Jld. 3, Jld. 472.
[5]
Ibnu Qudamah, Raudhatun Nadhir, Jld. 2, hlm. 73.
Ibnu Qudamah, Raudhatun Nadhir, Jld. 2, hlm. 73.
[6]
Muslim, Shahih Muslim, Kitabul Iman, Bab Tajawazallahu an Haditsin Nafs, Jld.
1, hlm. 81, no. 347.
Muslim, Shahih Muslim, Kitabul Iman, Bab Tajawazallahu an Haditsin Nafs, Jld.
1, hlm. 81, no. 347.
[7] Al
Ghazali, Al Mushtashfa, hlm. 321.
Ghazali, Al Mushtashfa, hlm. 321.
Suka menulis, membaca dan belajar. Alumni Islamic University of Madinah dan kini sedang melanjutkan study di fakultas Studi Islam UMJ.