Terjadi sebuah diskusi yang sangat menarik
di grup kelas kami di pondok dulu, pembahasannya ialah apakah seseorang yang
sudah memakai ‘pengaman’ Ketika berhubungan badan itu tidak wajib mandi besar.
Diskusi ini terjadi lantaran lafal hadits yang mewajibkan mandi besar berbunyi
seperti ini :
عَنْ
عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَتْ :إِذَا
الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ، فَعَلْتُهُ أَنَا وَرَسُولُ
اللَّهِ، فَاغْتَسَلْنَا . رَوَاهٌ ابْنُ مَاجَهْ
Dari Aisyah, istri Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, ia berkata,”Apabila bertemu kedua khitan maka telah wajib untuk
mandi besar. Aku telah melakukannya bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam kemudian kami pun mandi.” HR. Ibnu Majah
Hadits itu menerangkan bahwa salah satu
penyebab wajibnya seseorang melakukan mandi besar ialah apabila kedua khitan –
yang dimaksud di sini ialah kemaluan laki laki dan perempuan – saling bertemu
dan bersentuhan. Nah, masalahnya ialah Ketika memakai kondom atau alat pengaman
yang lain, kemaluan laki laki tidak menyentuh kemaluan perempuan secara
langsung. Ia dihalangi dengan adanya kondom tersebut. Lantas, apakah tetap
wajib melaksanakan mandi besar ?
Bertemu Dua Khitan
perlu kita perjelas makna hadits itu menurut ulama ahli hadits. Menurut Ibnu Sayyidin
Nas dalam kitab An Nafhusy Syadzi, kata bertemunya dua khitan ini adalah suatu
metafora dari istilah kumpul suami istri (jimak). Hadits ini pun tidak bisa dipahami
secara dhahir saja. Hal itu karena, khitan perempuan itu ada di atas kemaluan
perempuan, sedangkan laki-laki ada di ujung. Maka, apabila hanya bertemu, ia
tidak wajib mandi besar. Namun, apabila masuk meskipun hanya ujungnya saja, maka
ia sudah wajib untuk melakukan mandi besar. Dalam hadits yang lain disebutkan
bahwa wajibnya mandi besar itu apabila ujung kemaluan laki-laki itu sudah
hilang, artinya sudah masuk di kemaluan perempuan (An Nafhusy Syadzi, 2/434).
Ulama Syafi’iyyah pun sudah sepakat bahwa seseorang
yang melakukan hubungan suami istri hanya sekedar masuk itu sudah wajib melakukan mandi besar,
meskipun belum keluar mani. Yang menjadi perbedaan hanyalah, apakah keluarnya
mani itu harus diikuti dengan syahwat atau tidak. Sebagaimana perbedaan yang
terjadi di kalangan Syafi’iyyah dan Hanafiyyah.
Ulama Syafi’iyyah pun sudah sepakat bahwa seseorang yang melakukan hubungan suami istri hanya sekedar masuk itu sudah wajib melakukan mandi besar, meskipun belum keluar mani.
Artinya, secara garis besar, bertemunya
dua khitan (masuknya kemaluan laki-laki ke kemaluan perempuan) itu sudah wajib
mandi besar. Meskipun belum keluar mani. Lantas, apakah kondom bisa menghilangkan
hukum itu ? Karena tentu kondom menghalangi bertemunya dua khitan itu secara
langsung ?
Berhubungan Suami Istri dengan Kondom
Ulama berbeda pendapat perihal apakah
orang yang pakai kondom wajib untuk mandi besar atau tidak. Ulama Syafi’iyyah
dan Hanafiyyah berpendapat bahwa dengan berhubungan memakai kondom, seseorang
tetap wajib melakukan mandi besar. Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Al Juwainiy
dalam kitabnya, Nihayatul Mathlab (Nihayatul Mathlab, 1/149) berikut :
فَإِنْ قِيْلَ : إِذَا أُوْلِجَ الْحَشَفَةُ مَلْفُوْفَةً،
فَلَمْ يَحْصُلِ الْتِقَاءُ الْفَرْجَيْنِ فَلِمَ وَجَبَ الْغَسْلُ ؟ قُلْنَا : هَذَا
تَخْيِيْلٌ لَا مُبَالَاةَ بِهِ، فَإِنَّ أَحْكَامَ الْوَطْءِ عُلِّقَتْ بِالْإِيْلَاجِ
فِي الْفَرْجِ ، وَقَدْ حَصَلَ هَذَا .
Apabila ada yang bertanya,”Apabila kemaluan laki-laki
yang terbungkus dengan sesuatu itu dimasukan maka tidak terjadi pertemuan dua
kemaluan. Lantas mengapa tetap wajib mandi besar ?” Kami menjawab,”Ini hanyalah
khayalan yang tidak perlu diperhatikan. Karena sesungguhnya hukum jimak itu dinilai
dari ‘memasukkan (kemaluan) ke kemaluan perempuan’. Dan hal ini sudah terjadi
(maka wajib mandi besar).”
Baca juga : 1. Makmum masbuq, langsung rukuk atau sedekap dulu. 2. Benarkan Fir’aun itu Muslim yang Su’ul Khatimah. 3. Tambahan ‘wa barakatuh’ dalam Salam ketika Sholat.
Sedangkan menurut madzhab Malikiyyah dan Hanabilah, apabila kondom
atau pelindung itu tebal, maka tidak wajib mandi besar. Sebagaimana yang
disebutkan oleh Ibnu Najiy dalam kitabnya berikut :
وَظَاهِرُ كَلَامِ الشَّيْخِ أَنَّ الْحَشَفَةَ إِذَا
غَابَتْ مُوْجِبَةُ الْغُسْلِ وَإِنْ دَخَلَتْ مَلْفُوْفَةً وَهُوَ كَذَلِكَ وَمَعْنَاهُ
إِذَا كَانَ اللِّفُّ رَقِيْقًا، وَأَمَّا الْكَثِيْفُ فَلَا وَنَصَّ عَلَيْهِ ابْنُ
الْعَرَبِيِّ
“Dari pernyataan Syekh bisa diketahui bahwa ujung kemaluan
laki-laki apabila sudah masuk, maka ia sudah wajib mandi besar meskipun
masuknya dengan pelindung. Dan itu memang benar seperti itu. Namun, yang dimaksud
pelindung di sini ialah pelindung yang tipis. Apabila pelindung itu tebal,
maka tidak (wajib mandi besar). Hal ini pula yang dinyatakan oleh Ibnul
Arabiy.”
Lantas, apa ukuran
tebal dan tipis dalam hal ini ? Menurut Syekh Ibnu Qasim, tebal dan tipis dalam
hal ini bisa dilihat dari apakah Ketika berhubungan dengan pelindung (kondom) itu
terasa hangat atau tidak. Apabila terasa hangat, berarti itu tipis dan apabila
seseorang memakai itu, ia wajib mandi
besar. Sedangkan apabila tidak terasa hangat, maka ia tebal dan tidak wajib
mandi (Hasyiah Ar Raudhul Murbi, hlm. 274). []
Suka menulis, membaca dan belajar. Alumni Islamic University of Madinah dan kini sedang melanjutkan study di fakultas Studi Islam UMJ.