Menu Tutup

Muslim itu Beradab, Bukan Biadab


Bilal Fahrur
Rozie

Mahasiswa
fakultas Syariah, Islamic University of Madinah

 

Bukan
sebuah cerita yang aneh lagi bahwa ada seorang murid yang tega memukul gurunya.
Atau di lain kejadian, seorang wali murid rela melaporkan gurunya ke polisi
lantaran ia menegur anaknya yang kurang berakhlak ketika di kelas. Tidak
sedikit pula kita lihat kabar-kabar semisal itu bersliweran di beranda
facebook, Instagram maupun platfrom medsos laiinya. Sungguh miris memang.

Padahal seharusnya,
konsep Islam dalam soal Pendidikan itu jelas. Dalam pendidikan Islam, tidak
hanya aspek intelektual yang ditekankan. Lebih dari itu semua, adab adalah
suatu hal yang sangat urgent melebihi kemampuan intelektual seseorang. Bisa
jadi, orang yang tidak begitu berintelek namun ia beradab itu lebih mulia
daripada orang yang berintelek tinggi namun biadab (baca : tanpa adab). Orang
yang kurang berintelek namun ia beradab, insyaallah ia tidak akan macam-macam.
Namun, ketika ia berintelek tanpa dibarengi dengan adab, bisa jadi intelektual
yang dimilikinya, ia manfaatkan untuk membuat tipu muslihat dalam rangka
melancarkan semua akal busuknya.

Allah SWT
dalam Al Quran sudah menekankan dengan fiil amr (kata perintah) bahwa
seharusnya seorang muslim itu selain ia berintelektual tinggi juga memiliki
akhlak yang mulia. Allah SWT berkalam dalam surat Ali Imran ayat 79 :

كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ
وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

“Jadilah kalian para Rabbani karena
sebab kalian mengajarkan Al Quran dan karena apa yang telah kalian
pelajari.”

Q.S Ali Imran : 79

Al Imam
Fakhruddin Ar Razi dalam kitabnya Mafatihul Ghaib menerangkan bahwa yang dimaksud
dengan Robbani ialah mereka yang paham (intelek), mengamalkan ilmunya dan
mengajarkan apa yang ia pahami tersebut. [1]

Melalui
ayat itu, Allah SWT menekankan kepada setiap muslim bahwa selain belajar untuk
menjadi seorang intelek, ia juga ditugasi untuk mengajarkan Al Quran. Tentu,
ketika seseorang hendak mengajarkan Al Quran, maka yang ia benahi pertama ialah
akhlak (adab) nya sebelum amaliyah yang lain. Hal ini selaras dengan apa yang
disampaikan oleh ibunda kita Aisyah RA bahwa akhlak Rasulullah Shallahu ‘alaihi
wa Sallam ialah Al Quran. Sehingga dengan demikian, selain ia juga
berintelektual tinggi namun juga beradab mulia.

Konsep
saling menghormati dan selalu mengedepankan adab ini berlaku dari dua arah.
Baik dari arah murid, anak maupun orang-orang yang mempunyai kedudukan lebih rendah
daripada orang lain maupun dari arah guru, ustadz, orang tua maupun kiai. Orang
yang kedudukannya lebih rendah dari segi keilmuwan harus menghormati orang yang
kedudukannya lebih tinggi. Begitupun orang yang lebih tinggi kedudukannya harus
mau menyayangi orang yang lebih rendah dari kedudukannya.

Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asyariy dalam kitab Sunan Abu
Dawud disebutkan :

عَنْ أَبِي مُوْسَى الْأَشْعَرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللهِ إِكْرَامُ ذِيْ
الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ، وَحَامِلِ القُرآنِ غَيْرِ الْغَالِيْ فِيْهِ وَالْجَافِي
عَنْهُ، وَإِكْرَامِ ذِيْ السُّلطَانِ المُقْسِطِ” رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ .

Dari Abu Musa Al-Asyariy ia berkata,”Rasulullah
shallahu alaihi wa sallam bersabda,’Termasuk bentuk pengagungan kepada Allah
ialah memuliakan seorang muslim yang sudah tua, para penghafal Al-Qur’an yang
tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi hak (Al-Qur’an), dan memuliakan
penguasa yang adil.”

HR. Abu
Dawud

Hadits di
atas ialah hasungan yang jelas dan lugas dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam kepada umatnya supaya ia mampu menempatkan diri untuk menghormati
orang-orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi darinya, baik dari segi
keilmuwan maupun jabatan.

Sangat
banyak sekali nukilan dari para salaf yang menekankan bahwa keintelektualan
seseorang harus dibarengi dengan adab. Dalam hal ini, Ibnul Mubarak pernah
berkata :

تَعَلَّمْنَا الْأَدَبَ ثَلَاثِيْنَ عَاماً، وَتَعَلَّمْنَا الْعِلْمَ
عِشْرِيْن
َ

“Kami
belajar adab 30 tahun, dan kami belajar ilmu (hanya) 20 tahun.”

Imam Malik,
salah satu imam madzhab yang mu’tabar sampai saat ini pernah menyampaikan bahwa
ketika beliau diantarkan oleh ibunya menuju kajian Robiah bin Abdurrohman, ibunya
berkata :

تَعَلَّمْ مِنْ أَدَبِهِ قَبْلَ عِلْمِهِ

“Belajarlah adab darinya
sebelum ilmunya.”

Hal itu
semua menunjukan pentingnya adab seorang murid kepada guru atau yang mempunyai
ilmu lebih tinggi darinya.

Di hadits
lain, Rasulullah Kembali menyinggung dari arah lain, yaitu pentingnya orang
yang memiliki ilmu lebih tinggi untuk menyayangi murid-muridnya. Dalam hal ini,
Rasulullah bersabda :

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ مِنَّا مَنْ
لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ شَرَفَ كَبِيرِنَا» رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ

Dari Amr bin Syuaib, dari bapaknya, dari
kakeknya, ia berkata,”Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,’Tidak
termasuk golongan kami, orang yang tidak menyayangi anak kecil kami dan tidak
mengetahui kemuliaan orang tua kami.”

HR.
Tirmidzi

Hadits itu
merupakan sebuah hadits penting yang menekankan pentingnya orang yang memiliki
kedudukan, umur maupun ilmu yang lebih tinggi untuk selalu menyayangi
orang-orang yang berada di bawahnya. Bahkan, bagi yang tidak melakukan itu,
Rasulullah shallahu alaihi wa sallam mengancam bahwa ia tidak termasuk dari
golongan Rasulullah SAW. Pertanyaanya sekarang ialah apabila tidak termasuk golongan
Rasul, lantas sekarang kita termasuk golongan siapa?

Al Imam Asy
Syafi’I guru dari Al Imam Ahmad bin Hanbal memberikan contoh yang apik bagi
kita tentang bagaimana seharusnya sikap seorang guru kepada anak didik maupun
santrinya.

Suatu saat,
Imam Asy-Syafii bertamu pada malam hari di rumah Imam Ahmad bin Hanbal.
Setibannya di rumah beliau, Imam Syafii diberi hidangan makanan yang sangat
banyak. Ketika makanan itu sudah dihidangkan, beliau pun segera menghabiskan
makanan tersebut hingga tidak tersisa. Melihat hal itu, keluarga Imam Ahmad sedikit
bergumam,’Masak seorang Imam Besar memakan makanan yang sangat banyak?!’.
Hingga keesokan harinya, Imam Ahmad menanyakan hal itu kepada gurunya tersebut.
Imam Asy-Syafii pun menjawab,”Mengapa saya mengahabiskan makanan itu?
Karena saya tidak mendapati makanan yang lebih halal daripada makanan Ahmad bin
Hanbal, oleh karena itu saya tidak mau menyisakan makanan itu sedikitpun.”
[2]

Oleh karena
itu, yang terpenting bagi seorang muslim adalah adab. Apabila keilmuwan dibarengi
dengan adab maka ia akan menjadi muslim yang beradab. Sedangkan apabila ilmu
itu tidak dibarengi dengan adab, maka ilmunya tidak akan barokah dan jadilah ia
sebagai manusia yang biadab. []

 



[1] Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, Jld. 8,
Hlm. 271.

[2] Abu Zaid, Hilyatu Thalibil Ilm, hlm.
125.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *