Menu Tutup

Mengambil Sikap di Masa Fitnah Para Shahabat

Latar Belakang

Dalam sebuah hadits, Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Hudzaifah bin Yaman perihal fitnah yang efeknya itu seperti ombak di lautan. Hudzaifah mengatakan bahwa selama engkau hidup wahai Amirul Mukminin, maka fitnah itu tidak akan terjadi. Hal itu karena antara dirimu dan fitnah itu terdapat pintu yang tertutup. Umar ra. kembali bertanya,”Pintu itu akan terbuka dengan sendiri atau harus dirusak?” Hudzaifah menjawab,”Dirusak.” Hudzaifah ketika menerangkan lebih lanjut tentang hadits ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pintu itu adalah diri Umar bin Khattab (Al Bukhariy, no. 502). Apa yang dikatakan Hudzaifah dari Rasulullah ini benar adanya. Selama Umar bin Khattab hidup, tidak ada satupun fitnah yang terjadi di antara shahabat. Namun, sepeninggal beliau, fitnah itu sedikit demi sedikit muncul.

Yang perlu dipertegas ialah fitnah yang dimaksud pada tulisan ini bukanlah tuduhan kepada orang lain tanpa bukti sebagaimana yang masyhur di bahasa Indonesia. Fitnah yang dimaksud ialah ujian keimanan dan sikap seorang muslim atas suatu kejadian. Hal ini, bisa berupa perang maupun yang lain.

Fitnah pertama yang muncul ialah pembunuhan Ustman bin Affan ra. di tangan orang-orang yang tidak setuju dengan kepemimpinan beliau. Dengan terbunuhnya Ustman, muncullah fitnah yang kedua, yaitu perang antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Ali ra. berpendapat bahwa penuntutan balas untuk darah Ustman itu bisa diundur terlebih dahulu. Hal itu karena permasalahan umat yang lebih penting dari itu lebih banyak. Namun Muawiyah ra. yang merupakan kerabat Ustman tidak setuju dengan itu. Darah Ustman harus segera terbalaskan. Karena itulah, Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah berperang dan menghasilkan keputusan tahkim.

Ada juga fitnah berikutnya antara Ali bin Abi Thalib ra. dengan Aisyah istri Rasulullah ra. Kejadian perang antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah ini kemudian dikenal dengan perang Jamal.

Melihat fitnah yang terjadi di zaman shahabat, sikap apa yang seharusnya diambil oleh setiap muslim. Perlukah berpihak kepada satu kelompok dengan menyalahkan yang lain, atau bahkan menyerahkan keputusan yang dilakukan para shahabat tanpa menyalahkan dan membela pihak tertentu ?

Kedudukan Shahabat

Para ulama sepakat bahwa seluruh shahabat itu memiliki sikap ‘adl. Adl ialah muslim yang berakal, baligh, tidak pernah melakukan hal-hal yang mencoreng kehormatan dan tidak melakukan perbuatan fasik. Tidak ada bedanya antara shahabat yang masih kecil (shighar) maupun besar (kibar). Antara muhajirin dan ashar maupun yang masuk Islam sejak awal (assabiqunal awwalun) dan yang masuk Islam terakhir. Hal ini berdasarkan kalam Allah SWT ayat 9 dan 10 surat Al Hasyr berikut :

“Dan orang-orang yang menyiapkan rumah dan keimanan sebelum mereka. Mereka mencintai orang-orang yang hijrah kepada mereka. Mereka pun tidak mendapati di hati mereka suatu keperluan (tersembunyi) atas apa yang telah mereka berikan. Mereka mengedepankan (orang lain) daripada diri mereka meskipun sebenarnya mereka butuh. Itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang setelah mereka. Mereka berdoa,’Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan keimanan. Dan janganlah Engkau jadikan rasa dengki kepada orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami, Engkau adalah Dzat Maha Lembut dan Penyayang.”

Selain ayat itu, Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berpesan,”Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku! Demi Dzat yang diri Muhammad ada di tangan-Nya, kalau saja kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, tidak akan menandingi shadaqah satu mudd dari mereka dan tidak pula setengahnya.”

Dari rangkaian ayat dan hadits di atas, dapat dipahami bahwa shahabat itu memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam. Mereka dipuji langsung oleh Allah dalam Al Qur’an dan juga Rasulullah SAW dalam haditsnya. Mencela shahabat berarti mencela ajaran Islam. Hal itu karena melalui para shahabat lah syariat Islam ini tersebar. Kalau saja para shahabat itu dianggap rendah, maka otomatis apa yang mereka sebarkan pun rendah. Ini bentuk penghinaan terhadap syariat Islam.

Sikap Seorang Muslim

Setelah mengetahui kedudukan para shahabat dalam Islam dan fitnah yang terjadi di antara mereka, sikap apa yang seharusnya diambil ? Sikap paling aman dalam hal ini ialah diam, tidak menyatakan keberpihakan kepada satu golongan tertentu dan menyalahkan yang lain. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa hati kecil kita akan membela salah satu dari dua kelompok tersebut. Hal ini yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya.

Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari sikap tersebut. Pertama ialah ketika menyatakan keberpihakan kepada satu kelompok, berarti kita membenarkan kelompok tersebut. Ketika membenarkan satu kelompok, otomatis kelompok yang lain adalah salah. Padahal, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasul di atas, bahwa kita dilarang untuk mencela atau menyalahkan shahabat. Kedua, kita terlalu kerdil untuk menyalahkan apa yang dilakukan oleh para shahabat. Amalan kita sebesar gunung Uhud itu tidak sebanding dengan amalan mereka yang hanya segenggam tangan. Terlebih menyalahkan apa yang mereka lakukan. Oleh karena itu, dalam hal ini diam lebih aman. Ketiga, ketika melakukan suatu hal di masa fitnah, shahabat itu ibarat seorang mujtahid. Seorang mujtahid ketika berijtihad, betulnya diberi pahala dua. Salahnya diberi pahala satu. Begitu pula para shahabat ketika itu. Ijtihad mereka ketika benar tetap berpahala, begitu halnya ketika salah. Maka, kita cukup diam dengan ijtihad yang mereka lakukan.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *