Menu Tutup

Lama Masa Haidh Menurut 4 Madzhab

 

Bilal Fahrur Rozie

 

Bab haidh merupakan salah satu bab fiqih yang perlu pendalaman dan
perhatian lebih daripada bab-bab yang lain. Mengapa demikian? Hal itu karena haidh
ini terjadi hampir pada setiap perempuan setiap bulannya. Selain itu, tidak mudah
untuk menentukan apakah perempuan tersebut sudah suci atau belum. Maka tak
heran, para ulama sejak jaman dahulu, banyak yang memfokuskan diri untuk
membahas hal ini. Bahkan, Abul Faraj Ad-Darimiy menulis sebuah kitab khusus
yang membahas masalah ini.

Ulama empat madzhab berbeda pendapat dalam mementukan masa minimal dan
maksimal haidh perempuan.

Ulama madzhab Hanafiyyah menyatakan bahwa waktu minimal seseorang haidh
ialah 3 hari 3 malam dan masa paling lama untuk haidh ialah 10 hari. Mereka
berdalil dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Al Bahiliy bahwa
Rasulullah SAW bersabda,”Waktu haidh paling sedikit ialah tiga hari dan
paling banyaknya ialah sepuluh hari.” [1]

Menurut ulama madzhab Malikiy, waktu minimal haidh ialah sekajap saja,
tidak sampai satu hari. [2]

Adapun menurut ulama madzhab Syafiiyyah dan Hanabilah, waktu minimal haidh
seorang perempuan ialah satu hari satu malam dan waktu maksimalnya ialah lima
belas hari. [3]

Mengapa kita perlu tahu waktu minimal dan maksimal haidh seorang
perempuan? Waktu minimal dan maksimal tersebut perlu untuk kita ketahui untuk
menentukan apakah darah yang keluar dari soerang perempuan itu dihitung sebagai
darah haidh atau bukan. Kita ambil contoh dengan pemahaman madzhab Syafi’i. Apabila
ada seorang perempuan yang biasanya ia haidh selama 7 hari, namun di bulan
Januari ini ia haidh selama 14 hari, maka selama 14 hari keluarnya darah
tersebut ia masih dihitung sebagai haidh. Dengan demikian, ia tidak boleh sholat,
puasa, dll. Adapun ketika perempuan tersebut masih keluar darah melebihi 15
hari, maka hari ke 16 keluarnya darah tersebut dihitung sebagai darah
istihadhah dan tetap wajib sholat dengan cara bersuci yang khusus. []



[1] As-Sarkhashiy, Al-Mabsuth, vol. 3, hlm. 347.

[2] Ibnu Jizziy, Al-Qowanin Al-Fiqhiyyah, hlm. 31.

[3] Abi
Syuja, Al-Ghoyah wat Taqrib, hlm. 8. Lihat juga, Al-Bahutiy, Ar-Raudhul Murbi’,
hlm. 54.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *