Al Qur’an sebagai kitab yang Allah turunkan terakhir setelah Taurat, Zabur, Injil dan shuhuf-shuhuf, memiliki fungsi yang spesifik terhadap kitab-kitab pendahulunya. Fungsi Al Qur’an itu disebutkan oleh Allah SWT di surat Al Ma’idah ayat 47 berikut :
وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ ٤٨
“Dan kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan benar (sebagai) pembenar atas apa yang ada sebelumnya dari suatu kitab dan (sebagai) pengoreksi atasnya. Maka berhukumlah di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (untuk berpaling) dari suatu kebenaran yang datang kepadamu. Setiap (umat) dari kalian kita jadikan itu suatu syariat dan manhaj. Kalau saja Allah berkehendak, Dia akan menjadikan kalian dalam satu umat. Akan tetapi Dia ingin menguji kalian terhadap apa yang sudah Dia berikan kepada kalian. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan. Kepada Allah kalian akan dikembalikan semuanya dan ia akan memberitahukan kepada kalian segala hal yang kalian perselisihkan.”
Q.S Al Ma’idah : 47
Dari ayat di atas, setidaknya ada tiga fungsi utama Al Qur’an terhadap kitab-kitab suci sebelumnya. Pertama ialah mushaddiq (pembenar), kedua ialah muhaimin (korektor) dan ketiga ialah nasikh (penghapus).
Al Qur’an sebagai Pembenar
Fungsi pertama Al Qur’an ialah pembenar (mushaddiq) atas kitab-kitab suci sebelumnya. Rashid Ridha menjelaskan makna mushaddiq ialah memberikan justifikasi bahwa Taurat, Zabur, Injil dan Shuhuf itu benar turun langsung dari Allah SWT. Begitu halnya para Rasul yang membawa kitab-kitab tersebut. Mereka menyampaikan wahyu ini dengan sempurna tanpa ada perubahan, penambahan maupun pengurangan. Namun, sepeninggal para rasul, kitab-kitab suci itu mengalami perubahan dan penggantian materi (Rasyid Ridha, 1990, hlm. 340).
Beberapa ajaran dari kitab suci lain yang dibenarkan oleh Al Qur’an dalam hal akidah ialah tauhid dan pengutusan Nabi dan Rasul. Dalam hal tauhid, Allah SWT berkalam di surat Asy Syura ayat 13 :
شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحٗا وَٱلَّذِيٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ كَبُرَ عَلَى ٱلۡمُشۡرِكِينَ مَا تَدۡعُوهُمۡ إِلَيۡهِۚ ٱللَّهُ يَجۡتَبِيٓ إِلَيۡهِ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِيٓ إِلَيۡهِ مَن يُنِيبُ ١٣
“Dia mensyariatkan kepada kalian dari (bagian) agama ini apa yang Dia wasiatkan kepada Nuh dan apa yang kami wahyukan kepadamu dan apa yang Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa supaya kalian menegakkan agama ini dan janganlah kalian berselisih padanya. Sangat berat apa yang kalian dakwahkan bagi orang-orang musyrik. Allah memilih baginya apa yang Dia kehendaki dan menunjukki siapa saja yang bertaubat kepadanya.”
Q.S Asy Syura : 13
Dalam hal ibadah, ajaran kitab suci terdahulu yang tetap dilestarikan dan dipertahankan oleh Al Qur’an ialah puasa. Allah SWT berkalam di surat Al Baqarah ayat 183 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian supaya kalian bertakwa.”
Q.S Al Baqarah : 183
Al Qur’an sebagai Pengoreksi
Al Qur’an juga berfungsi sebagai pengoreksi (muhaimin) atas kitab suci sebelumnya. Koreksi yang dilakukan Al Qur’an itu tertuju kepada konten kitab suci lain, tata cara turunnya dan siapa saja yang sebenarnya diperintahkan untuk melaksanakan kitab itu. Yang perlu menjadi catatan di sini ialah sifat kemuhaiminan Al Qur’an ini tidak menjadi jaminan bahwa kitab-kitab suci lain tidak ada perubahan atau penggantian sama sekali. Bahkan, setiap perubahan dan penggantian itu akan diluruskan oleh Al Qur’an (Rasyid Ridha, 1990, hlm. 340).
Contok Koreksi Al Qur’an terhadap Kitab Suci Lain
Beberapa contoh koreksi yang dilakukan Al Qur’an kepada kitab suci lain ialah perihal kisah Nabi Luth yang diisukan telah melakukan kekejian kepada kedua putrinya hingga melahirkan anak (Kitab Kejadian 19 : 30-38). Hal ini diluruskan oleh Al Qur’an melalui surat Hud ayat 78 :
وَجَآءَهُۥ قَوۡمُهُۥ يُهۡرَعُونَ إِلَيۡهِ وَمِن قَبۡلُ كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٱلسَّيِّـَٔاتِۚ قَالَ يَٰقَوۡمِ هَٰٓؤُلَآءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطۡهَرُ لَكُمۡۖ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُخۡزُونِ فِي ضَيۡفِيٓۖ أَلَيۡسَ مِنكُمۡ رَجُلٞ رَّشِيدٞ ٧٨
“Dan datanglah kaumnya secara tergesa-gesa kepadanya dan sebelum itu mereka telah melakukan hal-hal yang jelek. Ia (Nabi Nuh) mengatakan,’Wahai Kaumku, mereka adalah anak-anak perempuanku. Mereka lebih suci untuk kalian. Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kalian membuatku sedih tentang tamu-tamuku. Bukankah di antara kalian ada orang yang berpendidikan ?”
Q.S Hud : 78
Ayat ini secara tersirat menyatakan bahwa putri-putri Nabi Luth adalah pribadi yang suci. Maka mustahil mereka melakukan hal-hal yang tidak baik sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab Kejadian di atas.
Selain itu, Al Qur’an juga mengoreksi keyakinan Yahudi dari sekte Saduki yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak dengan nama Uzair (Ezra). Al Qur’an dengan tegas mengoreksi keyakinan itu dengan ayat ke 30 dari surat At Taubah :
وَقَالَتِ ٱلۡيَهُودُ عُزَيۡرٌ ٱبۡنُ ٱللَّهِ وَقَالَتِ ٱلنَّصَٰرَى ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ ٱللَّهِۖ ذَٰلِكَ قَوۡلُهُم بِأَفۡوَٰهِهِمۡۖ يُضَٰهِـُٔونَ قَوۡلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَبۡلُۚ قَٰتَلَهُمُ ٱللَّهُۖ أَنَّىٰ يُؤۡفَكُونَ ٣٠
“Orang-orang Yahudi mengatakan bahwa Uzair adalah anak Allah dan Nashrani mengatakan Al Masih adalah anak Allah. Itu adalah ucapan mereka dengan mulut-mulut mereka. Mereka menirukan ucapan orang-orang kafir sebelumnya. Allah melaknat mereka. Bagaimana mereka bisa dipalingkan?”
Q.S At Taubah : 30
Al Qur’an sebagai Penghapus
Al Qur’an juga berfungsi segabagi penghapus (nasikh) kitab suci sebelumnya. Dari segi masa berlakunya, Al Qur’an menghapus masa berlaku kitab suci sebelum Al Qur’an. Dengan turunnya Al Qur’an ini, maka Taurat, Zabur dan Injil sudah tidak berlaku lagi. Dari segi isi, Dr. Wahbah Az Zuhailiy membedakannya menjadi tiga kategori. Pertama ialah hal-hal yang tidak dihapus dalam Al Qur’an. Kedua ialah hal-hal yang dihapus dalam Al Qur’an. Ketiga ialah hal-hal yang diperselisihkan oleh ulama, apakah itu dihapus atau tidak (Wahbah Az Zuhailiy, 2005, hlm. 142-143).
Contoh Al Qur’an sebagai Penghapus Kitab Suci Lain
Contoh kategori pertama yang tidak dihapus oleh Al Qur’an ialah permasalahan akidah, wajibnya beriman kepada Allah (Q.S Al Baqarah : 136), haramnya zina (Q.S Al Isra : 32), mencuri (Q.S Al Ma’idah : 38), membunuh (Q.S Al An’am : 151), kufur kepada Allah serta hukum yang dipertegas keberlangsungannya dalam syariat Islam, seperti ibadah puasa. Allah berkalam :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣ﵞ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana (hal itu) diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kalian supaya kalian bertakwa.”
Q.S Al Baqarah : 183
Contoh kategori kedua yang dihapus oleh Al Qur’an ialah semua hukum yang disebutkan dalam kitab suci sebelum Al Qur’an namun hal itu tidak disebutkan dalam Al Qur’an maupun hadits dan hukum yang secara eksplisit dihapus oleh Al Qur’an. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam surat Al An’am ayat 146 berikut :
وَعَلَى ٱلَّذِينَ هَادُواْ حَرَّمۡنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٖۖ وَمِنَ ٱلۡبَقَرِ وَٱلۡغَنَمِ حَرَّمۡنَا عَلَيۡهِمۡ شُحُومَهُمَآ إِلَّا مَا حَمَلَتۡ ظُهُورُهُمَآ أَوِ ٱلۡحَوَايَآ أَوۡ مَا ٱخۡتَلَطَ بِعَظۡمٖۚ ذَٰلِكَ جَزَيۡنَٰهُم بِبَغۡيِهِمۡۖ وَإِنَّا لَصَٰدِقُونَ ١٤٦
“Dan atas orang-orang Yahudi kami haramkan setiap hewan yang memiliki kuku. Dan dari sapi dan unta kami haramkan kepada mereka kikilnya kecuali apa yang ada di punggung atau isi perut dan (daging) yang bercampur dengan tulang. Hal itu sebagai balasan atas pembamkangan mereka. Dan Kami adalah benar.”
Q.S Al An’am : 146
Di ajaran Yahudi, binatang yang memiliki kuku tunggal, kikil, isi perut dan daging yang menempel di tulang adalah haram untuk dikonsumsi. Namun, hal itu dihapus dalam Islam. Islam menghalalkan seluruh hewan itu bahkan seluruh bagian tubuhnya kecuali darah.
Contoh kategori ketiga yang menjadi perselisihan ulama ialah ayat qishas dalam syariat Yahudi. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam surat Al Maidah ayat 45 berikut :
وَكَتَبۡنَا عَلَيۡهِمۡ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفۡسَ بِٱلنَّفۡسِ وَٱلۡعَيۡنَ بِٱلۡعَيۡنِ وَٱلۡأَنفَ بِٱلۡأَنفِ وَٱلۡأُذُنَ بِٱلۡأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلۡجُرُوحَ قِصَاصٞۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٞ لَّهُۥۚ وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٤٥ﵞ
“Dan kami tetapkan kepada mereka padanya bahwa jiwa itu dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi serta luka itu ada balasannya. Maka barangsiapa yang bersedekah dengan hal itu, maka ia menjadi tebusan untuknya. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim.”
Q.S Al Maidah : 45
Perbedaan Ulama dalam Hal ini
Ulama Madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah mengatakan bahwa hal itu tetap berlaku di syariat Nabi Muhammad. Sedangkan madzhab Syafi’iyyah dan madzhab Dhahiriyyah, hal itu tidak berlaku di syariat Nabi Muhammad. Adapun Ibnu Al Qusyairiy dan Ibnu Burhan mengambil sikap tawaqquf (tidak berpendapat tertentu) dalam hal ini (Wahbah Az Zuhailiy, 2005, hlm. 143-144).
Suka menulis, membaca dan belajar. Alumni Islamic University of Madinah dan kini sedang melanjutkan study di fakultas Studi Islam UMJ.