Kebebasan dalam Persperktif Islam
Oleh : Bilal Fahrur
Rozie
Rozie
Ketika hidup di zaman modern saat ini, tidak sedikit orang yang
ketika melakukan sesuatu, berlindung di bawah baju kebebasan. Ketika ia minum
minuman keras misalnya, dalihnya Cuma kebebasan. ‘Ini khan hak saya, anda tidak
berhak mencampuri kebebasan saya,’ mungkin seperti itu dalih mereka.
ketika melakukan sesuatu, berlindung di bawah baju kebebasan. Ketika ia minum
minuman keras misalnya, dalihnya Cuma kebebasan. ‘Ini khan hak saya, anda tidak
berhak mencampuri kebebasan saya,’ mungkin seperti itu dalih mereka.
Memang Islam memberikan kebebasan penuh kepada seorang hamba atas
segala yang ia lakukan. Namun, kebebasan dalam Islam ini bukanlah kebebasan
yang kebablasan. Lantas seperti apakah kebebasan yang dikonsepkan dalam Islam
tersebut ? Mari kita simak pemaparan dari Dr. Abdul Aziz bin Ahmad Al-Humaidiy
dalam kitabnya ‘Mafahimul Hurriyah fil Islam’.
segala yang ia lakukan. Namun, kebebasan dalam Islam ini bukanlah kebebasan
yang kebablasan. Lantas seperti apakah kebebasan yang dikonsepkan dalam Islam
tersebut ? Mari kita simak pemaparan dari Dr. Abdul Aziz bin Ahmad Al-Humaidiy
dalam kitabnya ‘Mafahimul Hurriyah fil Islam’.
Dr. Abdul Aziz bin Ahmad dalam kitabnya, setidaknya membagi pengertian
‘Kebebasan’ (hurriyah) menjadi tiga bagian. Pertama, konsep kebebasan
menurut para filsuf. Kedua, konsep kebebasan menurut Ahli Tasawuf dan terakhir
ialah kebebasan menurut konsep Islam.
‘Kebebasan’ (hurriyah) menjadi tiga bagian. Pertama, konsep kebebasan
menurut para filsuf. Kedua, konsep kebebasan menurut Ahli Tasawuf dan terakhir
ialah kebebasan menurut konsep Islam.
Konsep Kebebasan Menurut Para Filsuf
Dr. Abdul Aziz dalam kitabnya setidaknya memaparkan dua tokoh
aliran filsafat yang memaparkan makna dari konsep kebebasan tersebut.
aliran filsafat yang memaparkan makna dari konsep kebebasan tersebut.
Pertama ialah pemaparan dari Karl Jaspers seorang filsuf
eksistensialis asal Jerman yang mengatakan bahwa makna asli kebebasan itu tidak
akan ditemukan karena ia mempunyai makna yang terus berkembang. Jaspers juga
menyatakan bahwa kebebasan yang sudah berhasil berjalan di Eropa selama ini,
meskipun memang sudah berhasil mengentaskan Eropa dari perbudakan, namun ia
sekarang berubah menjadi sebuah perbudakan yang baru dalam bentuk perbudakan
hawa nafsu. Sehingga orang yang dulunya merasa tertindas karena perbudakan
tersebut, sekarang berubah menjadi sosok yang seakan bebas, namun pada dasarnya
bebasnya ia itu dikontrol oleh hawa nafsu yang menguasai hatinya.
eksistensialis asal Jerman yang mengatakan bahwa makna asli kebebasan itu tidak
akan ditemukan karena ia mempunyai makna yang terus berkembang. Jaspers juga
menyatakan bahwa kebebasan yang sudah berhasil berjalan di Eropa selama ini,
meskipun memang sudah berhasil mengentaskan Eropa dari perbudakan, namun ia
sekarang berubah menjadi sebuah perbudakan yang baru dalam bentuk perbudakan
hawa nafsu. Sehingga orang yang dulunya merasa tertindas karena perbudakan
tersebut, sekarang berubah menjadi sosok yang seakan bebas, namun pada dasarnya
bebasnya ia itu dikontrol oleh hawa nafsu yang menguasai hatinya.
Sedangkan menurut tokoh filsafat kenamaan asal Yunani, Plato, kebebasan
itu bisa terwujud apabila setiap individu mau tunduk terhadap suatu aturan
masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan sebuah “masyarakat yang maju dan modern”.
Dari kalangan pemikir Islam, yang ikut terpengaruh dengan pemikiran Plato ialah
Al Farabi, sedangkan pemikir modern yang sepakat dengan apa yang disampaikan Plato
ialah H. Treitsckke.
itu bisa terwujud apabila setiap individu mau tunduk terhadap suatu aturan
masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan sebuah “masyarakat yang maju dan modern”.
Dari kalangan pemikir Islam, yang ikut terpengaruh dengan pemikiran Plato ialah
Al Farabi, sedangkan pemikir modern yang sepakat dengan apa yang disampaikan Plato
ialah H. Treitsckke.
Adapun menurut aliran Filsafat Sinisisme, segala sesuatu yang hidup
itu adalah tawanan dan budak kehidupan yang tidak akan bisa bebas kecuali
dengan kematian. Masih menurut mereka, kehidupan itu tidak mempunyai makna sama
sekali sebagaimana kematian itu tidak mempunyai makna kecuali hanya sebagai
pembebas seorang manusia dari perbudakan yang membelenggunya. Oleh karena itu,
aliran filsafat seperti ini disebut dengan aliran Sinisisme yang berakar dari
kata Sinis. Artinya, semua yang ada di kehidupan dunia ini dipandang sebagai
suatu hal yang negatif dan setiap yang hidup harus terbebas dari sifat negative
tersebut dengan cara berpindah ke alam lain melalui kematian.
itu adalah tawanan dan budak kehidupan yang tidak akan bisa bebas kecuali
dengan kematian. Masih menurut mereka, kehidupan itu tidak mempunyai makna sama
sekali sebagaimana kematian itu tidak mempunyai makna kecuali hanya sebagai
pembebas seorang manusia dari perbudakan yang membelenggunya. Oleh karena itu,
aliran filsafat seperti ini disebut dengan aliran Sinisisme yang berakar dari
kata Sinis. Artinya, semua yang ada di kehidupan dunia ini dipandang sebagai
suatu hal yang negatif dan setiap yang hidup harus terbebas dari sifat negative
tersebut dengan cara berpindah ke alam lain melalui kematian.
Pemikiran filsuf aliran Sinisisme ini diserap oleh Ibnu Sina,
ketika ia membicarakan perihal ruh. Menurutnya, ruh manusia asalnya dari alam
metafisika yang luas, kemudian ia ‘dipenjara’ dalam jasad manusia yang sempit
ini. Ia tidak akan bisa bebas kecuali apabila mau kembali lagi kepada alamnya
yang semula. Konsekwensi dari apa yang diyakini oleh Ibnu Sina ini ialah, ia
mengingkari pembangkitan jasad manusia dan ruhnya sekaligus. Menurutnya, yang
dibangkitkan besok di hari kiamat hanyalah ruh manusia saja tanpa jasadnya. Masih
menurut Ibnu Sina, manusia itu tidak akan bisa merasakan kebebasan selama masih
ada jasad yang membelenggunya. Sedangkan ‘bebas’ itu apabila ia sudah bisa
terbebas dari jasadnya sendiri hingga ia bisa sampai pada derajat ruh-ruh
lain yang kembali kepada asalnya yang pertama.[1]
Filsuf lain yang sepakat dengan pernyataan seperti ini ialah Pitagoras. Hal ini
sebagaimana yang ia katakan ketika melihat seseorang yang berbadan gendut,”
Mengapa engkau terlalu sibuk untuk mengurusi badanmu, padahal hakekatnya kamu
sedang membangun penjara dirimu sendiri”.
ketika ia membicarakan perihal ruh. Menurutnya, ruh manusia asalnya dari alam
metafisika yang luas, kemudian ia ‘dipenjara’ dalam jasad manusia yang sempit
ini. Ia tidak akan bisa bebas kecuali apabila mau kembali lagi kepada alamnya
yang semula. Konsekwensi dari apa yang diyakini oleh Ibnu Sina ini ialah, ia
mengingkari pembangkitan jasad manusia dan ruhnya sekaligus. Menurutnya, yang
dibangkitkan besok di hari kiamat hanyalah ruh manusia saja tanpa jasadnya. Masih
menurut Ibnu Sina, manusia itu tidak akan bisa merasakan kebebasan selama masih
ada jasad yang membelenggunya. Sedangkan ‘bebas’ itu apabila ia sudah bisa
terbebas dari jasadnya sendiri hingga ia bisa sampai pada derajat ruh-ruh
lain yang kembali kepada asalnya yang pertama.[1]
Filsuf lain yang sepakat dengan pernyataan seperti ini ialah Pitagoras. Hal ini
sebagaimana yang ia katakan ketika melihat seseorang yang berbadan gendut,”
Mengapa engkau terlalu sibuk untuk mengurusi badanmu, padahal hakekatnya kamu
sedang membangun penjara dirimu sendiri”.
Pemikiran yang diajukan oleh para Filsuf Sinisisme, Ibnu Sina dan
Pitagoras inilah yang menjadi salah satu landasan sebagian Ahli Tasawuf dalam
menjalani tarekat mereka.
Pitagoras inilah yang menjadi salah satu landasan sebagian Ahli Tasawuf dalam
menjalani tarekat mereka.
Konsep Kebebasan Menurut Ahli Tasawuf
Para ahli Tasawuf dalam memaknai konsep bebebasan ini setidaknya
terbagi menjadi dua golongan.
terbagi menjadi dua golongan.
Pertama ialah ahli Tasawuf yang mengatakan bahwa makna ‘kebebasan’ itu
sejalan lurus dengan sifat kependetaan (rohbaniyyah) yang banyak
dipraktekkan dalam Kristen. Dalam Kristen, seorang pendeta itu harus
meninggalkan segala hal yang bersifat dunia. Sehingga bagi seorang pendeta,
menikah adalah tabu, berbisnis adalah tabu, dan segala hal yang bersifat
duniawi ialah tabu untuk dilakukan. Sehingga ia terpasung pada hal-hal yang
berbau akhirat saja. Hal ini lah yang dibawa oleh para ahli tasawuf dalam mengkonsepkan
kebebasan menurut mereka.
sejalan lurus dengan sifat kependetaan (rohbaniyyah) yang banyak
dipraktekkan dalam Kristen. Dalam Kristen, seorang pendeta itu harus
meninggalkan segala hal yang bersifat dunia. Sehingga bagi seorang pendeta,
menikah adalah tabu, berbisnis adalah tabu, dan segala hal yang bersifat
duniawi ialah tabu untuk dilakukan. Sehingga ia terpasung pada hal-hal yang
berbau akhirat saja. Hal ini lah yang dibawa oleh para ahli tasawuf dalam mengkonsepkan
kebebasan menurut mereka.
Ahli Tasawuf yang mengkonsepkan hal ini menarik makna zuhud yang
ada dalam syariat menjadi sebuah sifat untuk menjauhi segala hal yang bersifat
keduniawian, seperti meninggalkan syahwat, urusan dunia, bahkan sampai
meninggalkan segala hal yang bersifat ‘perkembangan’. Ia tidak memikirkan
bagaimana cara memakmurkan bumi ini dalam rangka menjadi khalifah yang
telah ditunjuk oleh Allah di muka bumi. Artinya, untuk menjadi diri yang bebas
ia diharuskan beruzlah dari semua kehidupan dunia ini. Hal ini sebagaimana yang
disampaikan oleh Abul Qosim Al Qushairiy, bahwa “kebebasan” ialah tidak
menjadikan seorang hamba berada di bawah perbudakan hamba yang lain dan tidak
berada di bawah kekuasaan sebuah makhluk. Salah satu tanda keberhasilannya
dalam ‘membebaskan dirinya’ ialah dengan memutus hatinya dari segala hal yang
berkaitan dengan dunia.” [2]
ada dalam syariat menjadi sebuah sifat untuk menjauhi segala hal yang bersifat
keduniawian, seperti meninggalkan syahwat, urusan dunia, bahkan sampai
meninggalkan segala hal yang bersifat ‘perkembangan’. Ia tidak memikirkan
bagaimana cara memakmurkan bumi ini dalam rangka menjadi khalifah yang
telah ditunjuk oleh Allah di muka bumi. Artinya, untuk menjadi diri yang bebas
ia diharuskan beruzlah dari semua kehidupan dunia ini. Hal ini sebagaimana yang
disampaikan oleh Abul Qosim Al Qushairiy, bahwa “kebebasan” ialah tidak
menjadikan seorang hamba berada di bawah perbudakan hamba yang lain dan tidak
berada di bawah kekuasaan sebuah makhluk. Salah satu tanda keberhasilannya
dalam ‘membebaskan dirinya’ ialah dengan memutus hatinya dari segala hal yang
berkaitan dengan dunia.” [2]
Apabila konsep “kebebasan” memang sebagaimana yang mereka katakan, maka
sangatlah sulit bagi seseorang untuk mencapai martabat tersebut. Tidak semua
orang mampu mencapai martabat yang mereka katakan. Padahal apabila memang mengacu kepada agama Islam, seharusnya ia mudah untuk dilakukan dan dijalani karena memang agama Islam itu yusrun (mudah). Yang menarik disini ialah, menurut Dr.
Abdul Aziz bin Ahmad Al Humaidiy, ‘kebebasan’ versi Ahli Tasawuf yang lebih
mirip dengan sifat kependetaan dalam kalangan Kristen ini bertentangan dengan
apa yang Rasulullah SAW sabdakan. Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya aku tidak
diperintah untuk menjalankan sifat Rahbaniyyah.” H.R Ad-Daruquthniy. Sehingga
pengertian seperti ini menrurut beliau tidak dapat diterima.
sangatlah sulit bagi seseorang untuk mencapai martabat tersebut. Tidak semua
orang mampu mencapai martabat yang mereka katakan. Padahal apabila memang mengacu kepada agama Islam, seharusnya ia mudah untuk dilakukan dan dijalani karena memang agama Islam itu yusrun (mudah). Yang menarik disini ialah, menurut Dr.
Abdul Aziz bin Ahmad Al Humaidiy, ‘kebebasan’ versi Ahli Tasawuf yang lebih
mirip dengan sifat kependetaan dalam kalangan Kristen ini bertentangan dengan
apa yang Rasulullah SAW sabdakan. Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya aku tidak
diperintah untuk menjalankan sifat Rahbaniyyah.” H.R Ad-Daruquthniy. Sehingga
pengertian seperti ini menrurut beliau tidak dapat diterima.
Kedua ialah konsep ‘kebebasan’ yang diajukan oleh Al-Hallaj. Menurut Al-Hallaj,
bebas ialah apabila seseorang bisa terbebas dari penjara dirinya sendiri
sehingga dapat bersatu dalam Dzat Tuhan (Manunggaling Kawula Gusti/Wahdatul
Wujud). Hal itu sebagaimana yang tergambar jelas pada salah satu bait syairnya
berikut :
bebas ialah apabila seseorang bisa terbebas dari penjara dirinya sendiri
sehingga dapat bersatu dalam Dzat Tuhan (Manunggaling Kawula Gusti/Wahdatul
Wujud). Hal itu sebagaimana yang tergambar jelas pada salah satu bait syairnya
berikut :
Bunuhlah aku wahai Penguatku Karena
dalam matiku ada kehidupanku
dalam matiku ada kehidupanku
Matiku adalah hidupku Hidupku
adalah matiku
adalah matiku
Aku tidak mempunyai diriku Karena
adanya Dzat yang Maha Mulia
adanya Dzat yang Maha Mulia
Keberadaanku dalam sifatku Merupakan
sebuah hal buruk dari yang buruk
sebuah hal buruk dari yang buruk
Aku membiarkan hidupku Dalam
diri yang paling Mulia[3]
diri yang paling Mulia[3]
Tentu konsep Manunggaling Kawula Gusti atau Wahdatul Wujud yang
diajukan oleh Al-Hallaj ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Allah itu adalah
Khaliq, Pencipta kita semua sedangkan kita sebagai manusia ialah makhluk. Bagaimana mungkin, makhluk yang
sangat hina ini bisa menyatu dalam diri Khaliq?
diajukan oleh Al-Hallaj ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Allah itu adalah
Khaliq, Pencipta kita semua sedangkan kita sebagai manusia ialah makhluk. Bagaimana mungkin, makhluk yang
sangat hina ini bisa menyatu dalam diri Khaliq?
Konsep Kebebasan Menurut Islam
Dr. Abdul Aziz bin Ahmad Al-Humaidiy menyatakan dalam kitabnya
bahwa untuk mencapai makna ‘kebebasan’ menurut Al-Qur’an dan Sunnah dapat
dipahami melalui empat hal berikut :
bahwa untuk mencapai makna ‘kebebasan’ menurut Al-Qur’an dan Sunnah dapat
dipahami melalui empat hal berikut :
1.
Manusia itu pada hakekatnya ialah
seorang makhluk sosial yang lemah. Ia tidak akan mampu untuk hidup sendiri
tanpa bantuan yang lain. Sifat sosial yang membutuhkan kepada sesuatu yang lain
ini adalah sifat yang tidak dapat terpisah dari diri manusia sama sekali.
Manusia itu pada hakekatnya ialah
seorang makhluk sosial yang lemah. Ia tidak akan mampu untuk hidup sendiri
tanpa bantuan yang lain. Sifat sosial yang membutuhkan kepada sesuatu yang lain
ini adalah sifat yang tidak dapat terpisah dari diri manusia sama sekali.
Manusia pasti akan membutuhkan makan, minum, udara, tempat tinggal,
hujan, dsb untuk keberlangsungan hidupnya. Allah dalam hal ini berkalam,”Wahai
Manusia, kalian semua butuh (fuqara) kepada Allah. Sedangkan Allah ialah
yang Maha Kaya dan Terpuji.” [Fathir:15] dalam ayat lain, Allah juga
berkalam,”Allah ialah Dzat yang Maha Kaya, sedangkan kalian ialah fakir
(membutuhkan kepada yang lain).” [Muhammad:38]
hujan, dsb untuk keberlangsungan hidupnya. Allah dalam hal ini berkalam,”Wahai
Manusia, kalian semua butuh (fuqara) kepada Allah. Sedangkan Allah ialah
yang Maha Kaya dan Terpuji.” [Fathir:15] dalam ayat lain, Allah juga
berkalam,”Allah ialah Dzat yang Maha Kaya, sedangkan kalian ialah fakir
(membutuhkan kepada yang lain).” [Muhammad:38]
Dari segi ini, semua manusia, baik yang beriman kepada Allah maupun
yang tidak beriman, sebenarnya ialah budak yang selalu membutuhkan Dzat
yang Memeliharanya yaitu Allah SWT. Baik dia itu mau ataupun enggan, sadar atau tidak, ia pasti
dan akan selalu butuh kepada Allah. Bagi manusia yang menyadari bahwa ia adalah
makhluk yang butuh kepada Allah dan kemudian ia mengakui bahwa Allah ialah
Tuhannya untuk kemudian disembah, Al-Qur’an menyebut bahwa manusia yang seperti
itu ialah manusia yang mau tunduk kepada Allah dengan taat (thouan).
Adapun manusia yang sebenarnya ia itu butuh kepada Allah, karena kalau ingin
hidup di dunia, ia harus menghirup udara dan makan, sedangkan semua itu ialah
Allah yang menyediakan dan menyiapkan, namun ia tetap enggan tunduk secara
sukarela, Al-Qur’an menyebutnya bahwa ia adalah orang yang tunduk kepada Allah
secara terpaksa (karha). Allah berkalam,”Apakah kalian menginginkan
selain agama Allah, padahal kepada-Nya lah berserah diri semua makhluk yang ada
di langit dan bumi, baik dalam keadaan tunduk maupun terpaksa. Dan kepada-Nya
lah mereka akan dikembalikan.” [Ali Imran:83]
yang tidak beriman, sebenarnya ialah budak yang selalu membutuhkan Dzat
yang Memeliharanya yaitu Allah SWT. Baik dia itu mau ataupun enggan, sadar atau tidak, ia pasti
dan akan selalu butuh kepada Allah. Bagi manusia yang menyadari bahwa ia adalah
makhluk yang butuh kepada Allah dan kemudian ia mengakui bahwa Allah ialah
Tuhannya untuk kemudian disembah, Al-Qur’an menyebut bahwa manusia yang seperti
itu ialah manusia yang mau tunduk kepada Allah dengan taat (thouan).
Adapun manusia yang sebenarnya ia itu butuh kepada Allah, karena kalau ingin
hidup di dunia, ia harus menghirup udara dan makan, sedangkan semua itu ialah
Allah yang menyediakan dan menyiapkan, namun ia tetap enggan tunduk secara
sukarela, Al-Qur’an menyebutnya bahwa ia adalah orang yang tunduk kepada Allah
secara terpaksa (karha). Allah berkalam,”Apakah kalian menginginkan
selain agama Allah, padahal kepada-Nya lah berserah diri semua makhluk yang ada
di langit dan bumi, baik dalam keadaan tunduk maupun terpaksa. Dan kepada-Nya
lah mereka akan dikembalikan.” [Ali Imran:83]
2.
Karena semua makhluk itu butuh
kepada Allah, maka Dia lah yang memberikan rizqi kepada mereka. Sebagaimana kalam Allah Ta’ala “Dialah yang menciptakan
bagi kalian apa yang ada di atas bumi ini semuanya.” [Al-Baqarah:29]
Karena semua makhluk itu butuh
kepada Allah, maka Dia lah yang memberikan rizqi kepada mereka. Sebagaimana kalam Allah Ta’ala “Dialah yang menciptakan
bagi kalian apa yang ada di atas bumi ini semuanya.” [Al-Baqarah:29]
3.
Apabila dua asas di atas dapat
dipahami dengan baik, maka manusia secara umum bisa dibagi menjadi dua golongan
:
Apabila dua asas di atas dapat
dipahami dengan baik, maka manusia secara umum bisa dibagi menjadi dua golongan
:
·
Manusia yang memilih untuk menyembah
Allah, Dzat yang telah mencipatakan dan memberikan banyak rizqi kepadanya.
Manusia yang memilih untuk menyembah
Allah, Dzat yang telah mencipatakan dan memberikan banyak rizqi kepadanya.
·
Manusia yang menolak untuk beribadah
kepada Allah, sehingga ia pasti akan berada di bawah penghambaan kepada sesuatu
yang sangat hina. Bisa jadi ia akan berada di bawah penghambaan syahwatnya
sendiri, setan, jin maupun tuhan-tuhan palsu lainnya. Bahkan manusia yang
seharusnya berdudukan mulia diatara makhluk Allah yang lain, mau diperbudak
oleh batu, gunung, laut, sapi maupun benda-benda yang lain dan menyembahnya. Sehingga
ia menjadi manusia yang paling hina.
Manusia yang menolak untuk beribadah
kepada Allah, sehingga ia pasti akan berada di bawah penghambaan kepada sesuatu
yang sangat hina. Bisa jadi ia akan berada di bawah penghambaan syahwatnya
sendiri, setan, jin maupun tuhan-tuhan palsu lainnya. Bahkan manusia yang
seharusnya berdudukan mulia diatara makhluk Allah yang lain, mau diperbudak
oleh batu, gunung, laut, sapi maupun benda-benda yang lain dan menyembahnya. Sehingga
ia menjadi manusia yang paling hina.
4.
Dari 3 hal yang sudah dipaparkan
diatas, dapat kita pahami makna ‘kebebasan’ yang sebenarnya dalam Islam.
‘Kebebasan’ dalam Islam yang hakiki ialah apabila ia mampu terbebas dari
penghambaan kepada selain Allah dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah
semata. Untuk memahami konsep ini, dapat digambarkan dalam tabel berikut:
Dari 3 hal yang sudah dipaparkan
diatas, dapat kita pahami makna ‘kebebasan’ yang sebenarnya dalam Islam.
‘Kebebasan’ dalam Islam yang hakiki ialah apabila ia mampu terbebas dari
penghambaan kepada selain Allah dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah
semata. Untuk memahami konsep ini, dapat digambarkan dalam tabel berikut:
Menyembah
Cheng Xin Huang Tian |
–
|
–
|
–
|
–
|
√
|
Menyembah
Dewa |
–
|
–
|
–
|
√
|
–
|
Menyembah
Budha |
–
|
–
|
√
|
–
|
–
|
Menyembah
Yesus |
–
|
√
|
–
|
–
|
–
|
Membutuhkan
Allah SWT untuk keberlangsungan hidup |
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
|
Islam
|
Kristen
|
Hindu
|
Budha
|
Konghuchu
|
Dari tabel di
atas dapat kita lihat bahwa semua makhluk baik itu beragama Islam maupun tidak,
mereka semuanya membutuhkan Allah SWT untuk keberlangsungan hidup mereka. Bagi orang
Islam, mereka mau tunduk kepada Allah secara sukarela. Namun bagi orang yang
tidak mengakui agama Islam, sebenarnya ia juga tunduk di bawah kekuasaan Allah,
namun ia tidak merasa. Artinya semua makhluk hidup pasti tunduk dibawah kekuasaan Allah. Kalau ia
mau tunduk di bawah kekuasaan selain Allah, maka poin ketundukannya akan
bertambah. Kristen, Hindu, Budha, Konghucu maupun agama lain setidaknya tunduk
kepada dua hal. Pertama, tunduk kepada Allah secara terpaksa dan tunduk kepada
tuhan mereka secara sukarela. Artinya, ia menghambakan dirinya dua kali lipat
daripada seorang Muslim yang hanya menghambakan diri kepada Allah saja.
Artinya, kebebasan orang yang mengakui ketuhanan selain Allah itu dibelenggu
dua kali, berbeda dengan seorang Muslim. Maka disinilah dapat disimpulkan bahwa
‘kebebasan’ yang hakiki ialah dengan sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah
semata, sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Abdul Aziz bin Ahmad dalam
kitabnya terssebut. [bfr]
atas dapat kita lihat bahwa semua makhluk baik itu beragama Islam maupun tidak,
mereka semuanya membutuhkan Allah SWT untuk keberlangsungan hidup mereka. Bagi orang
Islam, mereka mau tunduk kepada Allah secara sukarela. Namun bagi orang yang
tidak mengakui agama Islam, sebenarnya ia juga tunduk di bawah kekuasaan Allah,
namun ia tidak merasa. Artinya semua makhluk hidup pasti tunduk dibawah kekuasaan Allah. Kalau ia
mau tunduk di bawah kekuasaan selain Allah, maka poin ketundukannya akan
bertambah. Kristen, Hindu, Budha, Konghucu maupun agama lain setidaknya tunduk
kepada dua hal. Pertama, tunduk kepada Allah secara terpaksa dan tunduk kepada
tuhan mereka secara sukarela. Artinya, ia menghambakan dirinya dua kali lipat
daripada seorang Muslim yang hanya menghambakan diri kepada Allah saja.
Artinya, kebebasan orang yang mengakui ketuhanan selain Allah itu dibelenggu
dua kali, berbeda dengan seorang Muslim. Maka disinilah dapat disimpulkan bahwa
‘kebebasan’ yang hakiki ialah dengan sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah
semata, sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Abdul Aziz bin Ahmad dalam
kitabnya terssebut. [bfr]
[1] Al-Adlhawiyyah
fil Ma’ad : 80
fil Ma’ad : 80
[2] Ar-Risalah fi
Hali Ahli At-Thariqah, fashl Huriyyah 2/371
Hali Ahli At-Thariqah, fashl Huriyyah 2/371
[3] Diwan
Al-Hallaj, no. 10
Al-Hallaj, no. 10
Suka menulis, membaca dan belajar. Alumni Islamic University of Madinah dan kini sedang melanjutkan study di fakultas Studi Islam UMJ.