Menu Tutup

Impian itu, Kuliah di Samping Sang Nabi

Cerita Perjalanan Kuliah di Kota Nabi
(part I)

7
Maret 2017

Malam itu, suasana begitu hening. PPTQ Ahmad Dahlan yang
terletak di tengah sawah terlihat sahdu diantara suara malam yang membuat
rindu. Malam itu pun adalah jadwal saya untuk piket di kantor. Sambil
mengotak-atik akun FB di laptop butut saya, tiba-tiba muncul sebuah notifikasi
“Naufal mengomentari status anda.” Saya klik notif itu, di layar
bagian bawah tertulis “Akhi… antum diterima di Madinah.” Melihat
pertanyaan itu, saya pun menjawab komentar itu,”Tidak akh, sudah dua tahun
belum ada pengumuman. Kayaknya memang tidak diterima.” Di sisi laptop
lain, Naufal langsung memberikan komentar,”Ana bukan tanya, tapi ana
ngabari antum kalau antum itu diterima di Madinah.” Seakan tak percaya,
saya balik berkomentar,”Lha antum koq tahu?” Dia kemudian
menyahut,”Ini linknya….”

Melihat link yang dikirimkan oleh Naufal, tangan ini mulai
gemetar, sama seperti ketika cerita ini ditulis dan menunggu pengumuman Temus.
Saya coba klik link itu dan muncullah nama-nama mahasiswa yang diterima di
Madinah. Kurang lebih, sekitar 303 lama terpampang di layar monitor yang ada di
hadapan saya. Mata saya pun menelisik satu persatu nama yang tercantum disana,
dan ternyata tepat di nomor 222 nama ‘BILAL FAHRUR ROZIE’ terpampang di
pengumuman itu.

Tak kuasa mulut ini terus menerus menyebut ‘asma Allah atas
nikmat yang sangat agung ini. Tak disangka juga, bahwa saya yang berasal dari
lulusan pondok pesantren tidak terkenal ini bisa diterima di luar negeri, di
sebuah Universitas tengah kota Nabi. Saya pun bergegas untuk pulang ke rumah, menghampiri
orang tua dan mengabarkan bahwa nama saya akhirnya keluar sebagai salah satu
penerima beasiswa di Universitas Islam Madinah. Ibu pun langsung memeluk saya
dan bapak memandang dengan bangga dari kejauhan. Seraya menghampiri, bapak pun
mengulang nasehatnya dua tahun lalu,”Alhamdulillah, makane betul
omongane bapak, nak kowe daftar, ada kesempatan keterimo, nak kowe gak daftar,
opo enek kesempatan kowe diterima. Sak iki, alhamdulillah dongane Bapak lan Ibu
iso diijabahi karo Allah. Dadi kowe iso diterimo neng Madinah
.”
(Alhamduilllah, ternyata memang betul apa yang sudah Bapak sampaikan dulu,
kalau kamu itu daftar, disana ada kesempatan untuk diterima. Namun, ketika kamu
sudah minder duluan dan tidak daftar, tidak bakalan ada kesempatan untuk
diterima. Dan sekarang, alhamdulillah doa Bapak dan Ibu didengarkan oleh Allah
jadinya kamu sekarang bisa kuliah di Madinah).

Tak kuasa saya menyembunyikan perasaan Bahagia dan haru yang
tercampur di hati saya pada saat itu. Sambil mengusap air mata yang tak terasa
menetes, pikiran saya kemudian melayang, mengenang perjuangan sejak dua tahun
lalu mengejar impian ini.

 

2014, Awal
Perjuangan

Seketika perjuangan awal untuk kuliah di Madinah
terngiang-ngiang di pikiran saya. Mulai dari pemberkasan, muqobalah sampai
akhirnya nama saya muncul di antara nama-nama lain yang diterima di kampus ini.
Saya ingat betul, bagaimana perjuangan dulu ketika masa pemberkasan. Apabila
kita liat persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendaftar di Madinah, sangat
banyak sekali berkas yang perlu di lengkapi. Mulai dari KTP, Paspor, SKCK,
surat rekomendasi, ijazah, transkip nilai dan semua itu harus diterjemahkan ke
dalam Bahasa Arab. Tentu bagi saya yang ketika itu belum pernah kuliah sama
sekali, apalagi keluar negeri, untuk mempersiapkan semua berkas itu adalah
sebuah tantangan tersendiri. Tapi, alhamdulillah Bapak saya selalu mendukung
saya untuk terus lanjut. Seperti biasa, nasehat dari mulut beliau selalu saya
ingat sampai sekarang,”Seng penting awak e dewe usaha, kui wes enek ganjarane.
Masalah diterima utawa gak, diprasahne neng Allah wae
.” (Yang
terpenting bagi kita ialah berusaha. Masalah diterima atau tidak itu adalah
urusan Allah, kita pasrahkan saja semuanya kepada Allah). Di situ jugalah saya
merasa bahwa dukungan orang-orang di sekitar kita sangatlah penting. Karena
dengan dukungan itu, kita yang kadang futur bisa kembali semangat untuk
mengejar mimpi.

Di masa pemberkasan itu, Bapak dan Ibu selalu menemai saya
untuk mengurus setiap berkas yang akan saya persiapkan. Ini bukan masalah manja
atau bukan. Cuman saya merasa, harapan orang tua supaya saya bisa menlanjutkan
kuliah di Madinah sangat besar. Sampai-sampai, setiap langkah dari proses
pendaftaran ini selalu didampingi dan didukung. Saya masih ingat, ketika
mempersiapkan KTP saja, Bapak dan Ibu saya ikut menemani, bahkan ketik
mengurusnya di Dukcapil Kabupaten Madiun. Saat itu ialah zaman peralihan antara
KTP konvensional menjadi KTP elektronik. KTP saya yang konvensional sudah habis
masa berlakunya hingga saya diharuskan untuk mengurus KTP elektronik yang baru
di kantor Dukcapil Kabupaten Madiun.

Ketika memasuki Gedung Dukcapil, saya mengambil antrian dan
duduk bersama warga lain yang sama-sama mengurus KTP. Giliran saya pun tiba,
akhirnya saya maju ke tempat pengurusan dan diambillah foto saya setengah
badan, sidik jari, dan kornea mata. Namun, salah seorang ibu yang mengurus KTP
ini bilang ke saya,”Blangko nya habis mas, nunggu blangko dulu. Kalau
blangkonya sudah jadi nanti akan kita kabari.” Seketika itu, pikiran saya
melayang,”Bagaimana nanti untuk masa pemberkasan, padahal waktunya tinggal
2 bulan lagi.” Memang antara saya mulai mengumpulkan berkas sampai akan
diadakannya muqobalah tinggal 2 bulan lagi. Saya mengejar waktu 2 bulan ini
supaya bisa mendapatkan roqm tholab dan bisa ikut muqobalah. Lamunan saya
terpecah karena ibu itu bertanya lagi,”Bagaimana mas? Sekarang mas sudah
bisa pulang.” Akhirnya saya keluar dari Gedung dan menghampiri Bapak saya
yang saat itu menunggu di mobil. “Bagaimana hasilnya? Udah dapat?”
tanya Bapak. Saya pun menerangkan bahwa KTP itu tidak bisa jadi sekarang, tapi
harus nunggu blangko dulu sampai blangkonya datang. Bapak saya yang pada saat
itu duduk, langsung berdiri dan berkata lagi,”Sekarang kamu balek lagi ke
kantor, bilang ajha ke pengurusnya bahwa KTP ini akan digunakan untuk daftar
kuliah di luar negeri segera.” Mendengar apa yang disampaikan Bapak, saya
sedikit ragu, apakah harus kembali ke kantor itu atau berusaha untuk mencari
alasan lain untuk Bapak supaya kita langsung pulang saja sambil menunggu KTP
jadi. Namun lagi-lagi Bapak menyakinkan saya,”Gak popo, omong wae neng
petugas e opo enek e. Insyallah diurus.
” Mendengar nasehat kedua Bapak
ini, akhirnya tiada pilihan lain kecuali saya harus balek ke kantor.

Ketika memasuki kantor, saya menghampiri ibu itu lagi dan
menyampaikan apa adanya. Saya liat wajah ibu itu, seakan ia meragukan apa yang
saya katakan. Namun, saya berusaha kembali meyakinkan ibu itu. Akhirnya ibu itu
berkata,”Yha mas, tunggu sebentar.” Ternyta, setelah menunggu 5
menit, akhirnya ibu itu keluar dengan membawa KTP saya. Sambil menyodorkan KTP
itu, dia berkata,”50 ribu mas.” Tanpa pikir panjang, saya mengambil
uang 50 ribu berwarna biru dari tas saya dan menyerahkan ke ibu itu. Saya
keluar Gedung dan kembali menghampiri Bapak dengan menunjukkan KTP yang sudah
saya bawa. Melihat KTP itu, Bapak pun berkata,”Alhamdulillah akhirnya
bisa
.”

Bersambung …. (part II)

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *