Beberapa waktu yang lalu, ada video viral tentang pernikahan
seseorang yang batal karena mempelai perempuan meminta mahar sebuah bidang
tanah. Tentu, apabila orang tua mempelai laki-laki bukan seorang sulthan dan
sang mempelai laki-laki belum bergaji dua digit, mahar sebidang tanah itu suatu
hal yang berat. Terlebih adat kita di Indonesia, cukup dengan seperangkat alat
sholat, pernikahan sudah sah.
Nah, lantas bagaimana pandangan syariat mengenai hal itu. Apakah
boleh mempelai perempuan meminta suatu mahar yang besar, atau apakah ada Batasan
dalam syariat mengenai mahar ?
Minimal dan Maksimal Mahar
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan minimal dan maksimal mahar.
Al Imam Asy Syafi’I dalam kitab Al Umm menyatakan bahwa minimal mahar ialah pertama,
sesuatu yang berharga. Kedua, sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh seseorang.
Kalau pun seseorang maharnya ialah biaya persewaan rumah, maka itu boleh. Sedangkan
untuk maksimal mahar menurut Imam Asy Syafi’I ialah tidak melebihi mahar yang
diberikan oleh Rasulullah kepada istri-istrinya, yaitu 500 dirham. Beliau menegaskan
bahwa tentu yang paling baik ialah yang tengah-tengah, tidak terlalu tinggi dan
tidak terlalu rendah (Al Umm, 5/63). Apabila kita konfersikan, mahar
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu ialah sekitar 40 sampai 50 juta
untuk saat ini. Nah, untuk hitungan lengkap mengenai mahar Rasul, bisa disimak
di sini https://umma.id/article/share/id/1002/294644.
Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal pun tidak jauh berbeda dengan apa
yang diutarakan oleh Imam Asy Syafii dalam kitabnya. Dalam Kitab Masa’il Harb
Al Karmaniy, Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya perihal minimal mahar. Beliau
menjawab, apa yang mereka sepakati bersama (Masail Harb Al Karmaniy, hlm.
301).
Al Imam Asy Syafi’I dalam kitab Al Umm menyatakan bahwa minimal mahar ialah pertama, sesuatu yang berharga. Kedua, sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh seseorang.
Ada sedikit pendapat yang berbeda dari Imam
Malik perihal minimal mahar ini. Menurut beliau, mahar paling sedikit itu
seperempat dinar, atau sekitar satu juta rupiah. Pendapat ini didasarkan atas
analogi antara mahar dengan potong tangan akibat mencuri. Ketika seseorang
mencuri dengan nilai seperemat dinar (sekitar satu juta rupiah), maka ia wajib
untuk dipotong tangan. Ketika tangan pencuri itu dipotong, otomatis ia kehilangan
salah satu anggota tubuhnya. Begitu juga dengan menikah. Orang yang menikah, seakan
keperawanan seorang wanita itu hilang. Nah, sama-sama hilang salah satu bagian
anggota tubuh, maka diambillah minimal pembayaran yang harus dibayar, yaitu
seperempat dinar (Al Ma’unah ala Madzhabi Alimil Madinah, hlm. 750).
Sedangkan menurut Al Hanafiyyah, minimal mahar
ialah sepuluh dirham. Mereka berpendapat demikian berdasarkan sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Al Daruquthniy dari Shahabat Jabir bin Abdillah,”Tidak
sah suatu mahar apabila kurang dari sepuluh dirham” (Tabyinul Haqaiq, 2/137).
Menurut para ahli hadits, dalil yang digunakan oleh madzhab Hanafiyyah ini
lemah sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
Kesimpulan
Karena ada perbedaan pendapat di kalangan
ulama tersebut, kita perlu mendudukkan masalah dan menimbang hal ini dengan dalil-dalil
yang ada. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda :
وَعَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهُ .
أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ
Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu, ia berkata,”Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,’Mahar paling baik ialah yang paling
mudah.’ Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam tidak menentukan sebuah nominal tertentu dalam hal mahar.
Bahkan beliau menekankan aspek ‘kemudahan’, baik bagi mempelai laki-laki maupun
mempelai perempuan. Pernah juga, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memperbolehkan
seseorang untuk menikahi seorang perempuan dengan mahar sepasang sandal (HR.
Imam At Tirmidzi, no. 1113). Pernah juga, beliau menikahkan seseorang dengan
mahar sebuah cincin besi (HR. Al Hakim, 2/178).
Meskipun demikian, ketika menikahi istri-istri
beliau, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri memberikan harta
terbaik yang beliau miliki. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, Aisyah radhiyallahu anha pernah ditanya perihal mahar yang berikan oleh
Nabi kepada istri-istrinya. Jawab Aisyah ialah :
كَانَ صَدَاقُهُ لِأَزْوَاجِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ
أُوقِيَّةً وَنَشًّا قَالَتْ: أَتَدْرِي مَا النَّشُّ ؟ قَالَ: قُلْتُ: لَا.
قَالَتْ: نِصْفُ أُوقِيَّةٍ. فَتِلْكَ خَمْسُمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَهَذَا صَدَاقُ
رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِأَزْوَاجِهِ
“Mahar beliau kepada para istrinya ialah dua belas
uqiyah dan satu niysh. Ia berkata,’Apakah kamu tahu apa itu nisyh ?’ Dia (rawi)
mengatakan,’Tidak.’ Aisyah pun menjawab,’Ia itu setengah uqiyah. Total semua
itu ialah lima ratus dirham. Inilah mahar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
kepada istri-istri beliau.”
Ketika kita memahami hadits-hadits ini dengan
baik, akan kita dapati sebuah kesimpulan bahwa hadits-hadits yang berisi mahar
harus mudah untuk dilaksanakan, mahar berupa cincin besi maupun sepasang sandal
itu ditujukan bagi calon-calon istri. Bagi anda, wahai calon istri, jangan
sampai mematok sebuah mahar yang akhirnya memberatkan mempelai laki-laki. Apabila
tujuan menikah itu demi melaksanakan kebaikan secara bersama, maka seharusnya
saling rela untuk memudahkan segala jalan untuk mencapai kebaikan itu, salah
satunya ialah dengan meringankan mahar.
Sedangkan hadits yang berisi mahar
Rasulullah kepada istri-istrinya dengan nominal yang sangat fantastik tersebut
lebih ditujukan kepada para calon suami. Bagi anda, wahai calon suami, Ketika ingin
menikah, siapkan mahar terbaik dan paling maksimal untuk calon istri anda. Melalui
mereka lah, akan terlahir sebuah generasi yang akan meneruskan jejak kebaikan
anda. Melalui mereka juga, kebaikan berumahtangga akan dicapai dengan maksimal.
Maka, muliakanlah mereka dengan memberikan mahar terbaik dan terindah kepada
mereka.
Baca juga : 1. Perbedaan qadhi dan mufti. 2. Hukum aqiqah bagi bayi yang meninggal sebelum hari ketujuh. 3. Perbedaan Nabi dan Wali.
Lantas bagaimana dengan pendapat ulama di
atas ? Para ulama di atas ingin berijtihad semaksimal mungkin untuk mendapatkan
nominal minimal mahar yang pas bagi yang ingin menikah. Terutama bagi anda yang
belum pernah menikah sama sekali dan bingung untuk menentukan nominal mahar,
tentu usulan dari para ulama, seperti dari kalangan Malikiyyah dan Hanafiyyah
itu tentu sangat membantu.
Nah, kembali ke pertanyaan di atas ‘Bolehkah minta mahar sertifikat tanah ?’ Jawabnya, boleh apabila tidak memberatkan mempelai laki-laki. Namun bagi mempelai perempuan, apabila dirasa hal itu memberatkan pihak laki-laki, hendaknya diturunkan saja standar maharnya. Wallahu a’lam. []
Suka menulis, membaca dan belajar. Alumni Islamic University of Madinah dan kini sedang melanjutkan study di fakultas Studi Islam UMJ.