Menu Tutup

Hukum dan Ketentuan Sutrah dalam Shalat

 

Hukum dan Ketentuan Sutrah dalam Shalat

Di beberapa
masjid, sering kita lihat sebuah kayu kecil setinggi kurang lebih 30 cm yang
diletakkan secara tegak di depan orang yang shalat. Kayu itu, dalam istilah
fiqih disebut dengan sutrah. Lantas, apakah sutrah itu wajib ? Dan bagaimana
ketentuan-ketentuan sutrah itu ?

 

Hukum Sutrah

Ulama empat
madzhab, Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah sepakat bahwa hukum sutrah
itu adalah sunnah bagi imam dan orang yang shalat sendiri (munfarid).
Sedangkan bagi makmum yang shalat berjamaah, maka sutrahnya include
sutrah imam. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu anhu :

إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ ‌مُؤْخِرَةِ ‌الرَّحْلِ
فَلْيُصَلِّ. وَلَا يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ . رَوَاهُ مُسْلِمٌ

“Apabila salah seorang dari
kalian sudah meletakan di depannya (ketika shalat) sesuatu setinggi senderan
belakang tunggangan, hendaklah ia shalat dan jangan memperdulikan apa yang
lewat di belakang itu.” HR. Muslim

Dalam salah satu
hadits juga disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu tidak
meletakan sutrah di depan beliau, padahal ketika itu banyak orang yang sedang
lewat di depan beliau. Sebagaimana hadits yang disebutkan oleh Imam Abu Dawud berikut
:

أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي
مِمَّا يَلِي بَابَ بَنِي سَهْمٍ وَالنَّاسُ يَمُرُّونَ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلَيْسَ
بَيْنَهُمَا ‌سُتْرَةٌ. قَالَ سُفْيَانُ: لَيْسَ ‌بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَةِ ‌سُتْرَةٌ
. رَوَاهُ أَبُوْ دَوُادَ

“Dia (shahabat) melihat Nabi shallallahu
alaihi wa sallam melaksanakan shalat di samping pintu Bani Sahm. Orang-orang
lewat di depan Beliau dan tidak ada antara keduanya (Rasul dan Ka’bah) itu
sutrah. Sufyan mengatakan : Tidak sutrah antara beliau dan Ka’bah.” HR. Abu
Dawud

Meskipun di hadits
pertama Rasululllah itu memerintahkan untuk meletakan sutrah tiap kali shalat,
dan perintah Rasul itu wajib, namun ada hadits yang menunjukan bahwa Rasul
pernah tidak memakai sutrah dalam shalat. Karena adanya hadits kedua inilah,
perintah dari Rasul yang asalnya mempunyai hukum wajib, turun menjadi sunnah.

Baca juga,”Berapa lama musafir boleh menjamak shalat

Adapun hadits yang
menunjukan bahwa sutrah makmum itu sudah termasuk dalam sutrah imam adalah
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud berikut :

هَبَطْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ
ثَنِيَّةِ أَذَاخِرَ، فحَضَرتِ الصَلاةُ فَصَلَّى- يَعْنِي إِلَى جَدْرٍ -، فَاتَّخَذَهُ
قِبْلَةً وَنَحْنُ خَلْفَهُ، فَجَاءَتْ

بَهْمَةٌ تَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَمَا
زَالَ يُدَارِئُهَا حَتَّى لَصِقَ بَطْنُهُ بِالْجَدْرِ، ومَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ
. رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ

“Kami turun bersama Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dari Tsaniya Adzakhir. Maka datanglah waktu
shalat. Beliau pun shalat menghadap ke sebuah tembok dan mengarah ke kiblat.
Sedangkan kami ada di belakang beliau. Maka datanglah seekor Binatang lewat di
depan beliau. Binatang itu terus mendorong beliau hingga perut beliau menembel
di tembok. Hewan itu pun akhirnya lewat di belakang beliau.” HR. Abu Dawud

Di hadits itu,
bisa kita pahami bahwa shahabat shalat bersama Rasul. Rasulullah shalat
menghadap ke sebuah tembok untuk dijadikan sutrah. Para shahabat di hadits itu
tidak ada yang mencari sutrah lain selain yang sudah dilakukan oleh Rasul. Atas
dasar itulah, sutrahnya makmum sudah termasuk dalam sutrah imam.  

 

Ketentuan Sutrah

Setelah mengetahui
hukum sutrah dalam shalat, sekarang kita akan membahas bagaimana bentuk sutrah itu.
Menurut madzhab Hanafiyyah, tinggi sutrah itu seukuran anak panah (As Sarkhasyi,
Al Mabsuth, 1/191
). Madzhab Malikiyyah berpendapat bahwa minimal tinggi
sutrah itu adalah satu jengkal tangan orang dewasa (Ibnu Abdil Barr, Al
Kafi, 1/209
). Adapun menurut madzhab Syafi’iyyah, sutrah itu paling utama
berupa tembok atau tiang. Apabila tidak ada, maka sutrah itu dapat berupa
tongkat yang ditancapkan di depan orang yang shalat. Apabila tidak ada, maka
sutrahnya cukup dengan sajadah. Apabila tidak ada, maka bisa menggunakan garis
sebagai penanda batas ia shalat (Al Khatib Asy Syarbiniy, Al Iqna’, 1/153).
Pendapat Syafi’iyyah ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh madzhab
Hanabilah (Ibnu Qudamah, Al Kafi, 1/303).

Baca juga,”Hukum menyetok shalat untuk waktu tertentu

Pendapat Syafi’iyyah
dan Hanabilah ini berdasarkan apa yang disebutkan dalam hadits riwayat Imam Abu
Dawud dari shahabat Abu Hurairah berikut :

إذا صَلَّى أحَدُكُم فلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِه شَيْئًا، فَإنْ لَمْ
يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا، فَإنْ لَمْ تَكُنْ مَعَهُ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا،
ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ أَمَامَهُ
. رَوَاهُ أَبُوْ
دَاوُدَ

“Apabila salah satu dari kalian
itu shalat, hendaknya ia menjadikan di depannya sesuatu. Apabila tidak ada,
maka hendaknya menancapkan sebuah tongkat. Apabila tidak ada tongkat, maka
hendaknya menggaris sebuah garis. Kemudian tidak memadharati apa yang lewat di
depannya.” HR. Abu Dawud

Imam An Nawawi
menambahkan bahwa hadits-hadits yang berisi ketentuan sutrah setinggi anak
panah atau bagian belakang tempat duduk di unta itu tidak menunjukan suatu batasan
minimal. Hal itu karena ada hadits Abu Dawud di atas. Beliau juga menambahkan
bahwa hikmah adanya sutrah adalah supaya pandangan orang yang sedang shalat
bisa fokus ke arah tempat sujud dan yang kedua adalah orang-orang tahu bahwa ia
sedang shalat sehingga tidak ada orang yang lewat di depannya (An Nawawi,
Syarh Shahih Muslim, 4/216
). Kedua hikmah itu bisa di dapat meskipun hanya
dengan memakai garis atau sajadah. Wallahu a’lam.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *