Menu Tutup

Hikmah di Balik Qurban

 

Hikmah Di Balik Qurban

Al Qur’an
menceritakan dengan sempurna kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang diuji oleh
Allah untuk tetap pasrah dan setia kepada perintah Allah SWT. Sang ayah diuji
untuk menyembelih anak kesayangannya dan sang anak pun diuji untuk tetap patuh
kepada perintah Allah meskipun nyawa yang jadi taruhannya. Lantas, apa hikmah
di balik itu semuanya ?

 

Cerita itu
Bermula …

Cerita itu bermula
ketika Nabi Ibrahim sangat merindukan anak demi melanjutkan perjuangan yang
sudah ia rintis. Beliau sadar bahwa usia beliau tidak lagi muda. Istri pertama
beliau, Sarah pun sudah cukup lanjut. Secara akal manusia, memiliki anak di
usia yang cukup renta adalah mustahil. Namun, beliau tidak patah arang dan
tetap berdoa,”Ya Allah, berikanlah kepadaku keturunan-keturunan yang shalih”
(Ash Shaffat : 100).

Allah pun
mengijabahi doa Nabi Ibrahim dengan caranya. Allah memberikan anak pertama
beliau bukan dari istri yang pertama, melainkan dari seorang istri yang menurut
satu riwayat, istri tersebut adalah mantan budak pemberian penguasa Mesir.
Hajar, nama sang ibu dari anak pertama Nabi Ibrahim. Dari Hajar inilah, Allah
memberikan anak pertama Nabi Ibrahim dan diberi nama Ismail.

Sangat bahagialah
hati Nabi Ibrahim dengan kelahiran putra pertamanya itu. Namun, Allah memberi
ujian kedua kepada Beliau. Anak pertamanya ini harus diasingkan beserta ibunya
di sebuah tempat yang tidak ada tanaman sama sekali di daerah itu. Jangan kan
manusia, tanaman saja tidak ada. Jangankan air, kehidupan pun tidak ada di
daerah itu. Namun, bukan Nabi Ibrahim apabila tidak mematuhi apa perintah
Rabb-Nya. Segeralah Ibrahim memerintahkan Hajar untuk Bersiap-siap menempuh
perjalanan jauh. Hajar, sebagai seorang istri shalihah didikan Nabi yang mulia
pun mematuhi apa perintah sang suami. Tanpa bertanya,’akan kemana?’ ia sudah
menyiapkan segala perlengkapannya beserta buah hati yang masih balita.

Perjalanan awal
peradaban itu pun dimulai. Dari negeri Syam, Ibrahim, Hajar dan anak mereka
berdua, Ismail berjalan secara perlahan dengan untanya mengarah ke selatan. Ibrahim
hanya diperintah untuk mengarah ke selatan dan apabila sudah sampai di tempat
itu, Allah akan memberi tahu bahwa tujuan sudah sampai dan Hajar beserta Ismail
harus ditinggal di tempat itu. Setelah berjalan kurang lebih 1500 km atau perjalanan
1 bulan, sampailah mereka di sebuah lembah yang gersang, sunyi dan tidak
berpenghuni. Allah lantas memerintahkan Ibrahim untuk menurunkan Hajar beserta
Ismail di tempat itu dan hanya berbekalkan makanan secukupnya. Hajar yang pada
saat itu menggendong buah hatinya tampak bingung dan sedikit bertanya,”Mengapa
engkau meninggalkan kami di sebuah tempat yang kosong dan gersang seperti ini
?” Ibrahim hanya diam dan mengarahkan kembali untanya ke utara. Pertanyaan itu
pun diulang kedua kali. Ibrahim hanya diam, bahkan memajukan sedikit untanya ke
utara. Di akhir percakapan itu, Hajar bertanya,”Wahai suamiku, apakah ini
adalah perintah dari Allah?” Ibrahim menjawab singkat,”Iya.” Dengan keyakinan
penuh, Hajar pun menjawab,”Kalau memang begitu, maka Allah tidak akan sekalipun
meninggalkanku.” Dengan keyakinan kuat, Hajar mengikhlaskan kepergian suaminya
menuju kampung halaman dan dari sinilah peradaban manusia selanjutnya dimulai.

 Baca juga,”Halal Haram Sembelihan Tanpa Basmalah.”

Peradaban Pertama
di Kota Bakkah

Tempat ditinggalnya
Hajar dan Ismail oleh Ibrahim ini kemudian disebut dengan kota Bakkah, dan seterusnya
berubah menjadi Makkah. Di kota Makkah inilah Ismail kecil bertumbuh kembang
menjadi anak yang shalih dibawah asuhan sang ibu, Hajar. Di umur ketika ia
sudah beranjak baligh, Nabi Ibrahim diberi izin oleh Allah SWT untuk menjenguk
anak pertamanya itu. Dengan rasa kangen yang memuncak dan ditambah hampir 10
tahun lebih tidak bertemu anak pertamanya itu, Nabi Ibrahim bertekad untuk
safar ke Makah.

Sesampainya di
kota Makah, Nabi Ibrahim meluapkan rasa kangen yang luar biasa kepada anaknya
itu. Namun Allah kembali menguji kecintaan Ibrahim kepada Rabbnya dengan
memerintahkannya untuk menyembelih anak pertamanya itu.  Dengan hati bergetar, Ibrahim menyampaikan
pada sang anak,”Wahai anakku, saya tadi malam bermimpi bahwa aku akan
menyembelih kamu.” Kedua ayah dan anak itu sadar bahwa apabila Ibrahim
bermimpi, maka mimpi itu adalah wahyu yang harus dilaksanakan. Dengan ketabahan
setebal baja, sang anak menjawab,”Wahai ayahku, lakukanlah yang Allah
perintahkan kepadamu. Insyaallah saya akan sabar.” Mendengar jawaban dari anak
yang shalih ini, hati Nabi Ibrahim pun semakin mantab. Akhirnya, Nabi Ibrahim
membawa Ismail ke Mina untuk disembelih.

Mengapa harus ke
Mina ? Bukankah menyembelih anaknya di rumah itu lebih gampang ? Asy Syaukani
dalam kitab tafsirnya menyebutkan suatu hikmah bahwa disembelihnya Ismail di
Mina itu demi menghindari kekacauan hati ibunya, Hajar. Ibrahim sadar bahwa
kecintaan seorang ibu kepada anak itu melebihi cinta ayah kepada anaknya. Oleh
karena itu, demi kelancaran perintah Ilahi inilah Nabi Ibrahim membawa Ismail
kecil di daerah Mina.

Sesampainya di
Mina, Ibrahim sudah menyiapkan alat yang digunakannya untuk menyembelih sang
anak. Anak yang taat itu pun dibaringkan dengan menghadapkan mukannya ke tanah.
Ketika hendak diayungkan alat penyembelihan itu, tiba-tiba Allah menggantikan
sang anak dengan kambing yang sangat besar. Di situlah, awal mula
disyariatkannya qurban hingga saat ini.

 Baca juga,”Tata Cara Penyembelihan Hewan Qurban

Kejadian Hebat
dan Hikmah Luar Biasa

Setiap kejadian
yang hebat itu terdapat hikmah yang luar biasa. Begitu juga apa yang dialami
oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang rela berkorban demi perintah Allah SWT. Sebenarnya
ada banyak sekali hikmah yang bisa dipetik dari kisah ini, di antaranya ialah :

1.      
Segala sesuatu yang ditinggalkan karena Allah,
akan diganti oleh-Nya dengan suatu hal yang jauh lebih baik
. Dalam kisah ini, Nabi Ibrahim alaihis salam menyembelih
anaknya dengan Ikhlas dan kesadaran bahwa ini adalah peritnah Ilahi. Namun,
atas keikhlasan yang beliau lakukan itulah, Allah mengganti dengan kambing
besar, gemuk dan lebih baik untuk disembelih daripada seorang anak. Dalam hal
ini,  Ubay bin Kaab berkata :

مَا تَرَكَ عَبْدٌ شَيْئًا لَا يَتْرُكُهُ إِلَّا لِلَّهِ إِلَّا آتَاهُ
اللَّهُ مِمَّا هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ، وَلَا تَهَاوَنَ
عَبْدٌ أَوْ أَخَذَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَصْلُحُ لَهُ إِلَّا أَتَاهُ اللَّهُ بِمَا
هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ، مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Tidaklah
suatu hamba itu meninggalkan suatu hal karena Allah, kecuali Allah akan
memberikan kepadanya suatu hal yang lebih baik dari itu dari arah yang tidak ia
sangka. Dan tidaklah suatu hamba itu menggampangkan suatu hal atau melakukan
sesuatu tanpa dasar yang dapat dibenarkan, kecuali Allah akan memberikan
kepadanya suatu hal yang lebih berat dari itu dari arah yang tidak ia sangka
.”
(Kitab Az Zuhd war Raqaiq, hlm. 10)

2.      
Untuk menjadi kekasih Allah, membutuhkan ujian
yang tidak mudah
. Pernah
dengar bahwa Nabi Ibrahim itu memiliki gelar Khalilullah (kekasih Allah) atau Khalilur
Rahman (Kekasih Yang Maha Pengasih)? Hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits riwayat Imam Ahmad (Al Musnad, jld. 4, hlm. 9, no. 2098) dari
shahabat Ibnu Abbas berikut :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم، بِمَوْعِظَةٍ فَقَالَ: ” إِنَّكُمْ مَحْشُورُونَ إِلَى اللهِ حُفَاةً
عُرَاةً (1) غُرْلًا، {كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ وَعْدًا
عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ}، فَأَوَّلُ الْخَلَائِقِ يُكْسَى ‌إِبْرَاهِيمُ
‌خَلِيلُ الرَّحْمَنِ . رواه أحمد فى مسنده

“Sesungguhnya kalian
akan dibangkitkan di hari kiamat dalam keadaan telanjang, tanpa alas kaki dan
belum khitan, “sebagaimana kami kami menciptakan di awal penciptaan. Itu adalah
janji kami. Sesungguhnya kami mampu untuk melaksanakan”. Orang pertama yang
akan mendapatkan baju ialah Ibrahim Khalilur Rahman.” HR. Ahmad

Untuk mendapatkan predikat
itu, Nabi Ibrahim harus rela diuji dengan ujian yang sangat berat. Ujian pertama
ialah ketika beliau memiliki anak pertamanya, tentu kasih sayang beliau sedang
memuncak kepada sang anak, namun Allah mengujinya Supaya ‘mengasingkan’ anak
pertama beliau di sebuah tempat yang tidak berpenghuni. Ujian kedua, ketika
hampir lebih dari 10 tahun tidak pernah bertemu dengan anak pertamanya
tersebut, akhirnya Nabi Ibrahim diberi izin untuk bertemu. Ketika sudah
bertemu, bahkan Allah memerintahkan ia untuk menyembelih anaknya. Bukankah itu
suatu ujian yang sangat berat ? Di situlah mengapa, beliau mendapatkan gelar ‘kekasih
Allah’ karena beliau selalu mengedepankan cinta kepada Allah daripada cinta
kepada yang lain.


Baca juga,”Cara Musafir Shalat Di Belakang Mukim

3.      
Sebuah hukum alam : segala sesuatu yang
bermanfaat itu akan kekal
.
Allah SWT berkalam dalam surat Ar Ra’d ayat 17,”Dan Adapun buih, maka ia
akan hilang tak berbekas. Dan sesuatu yang bermanfaat itu akan menetap di bumi.

Buih adalah suatu hal yang tidak ada manfaatnya. Oleh karena itu, ia akan
hilang tak berbekas. Adapun hal-hal yang bermanfaat itu akan selalu kekal di
bumi. Begitu juga ajaran-ajaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Seluruh ajaran mereka
itu sangat bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat. Karena kebermanfaatan itu
lah Allah membuat ajaran mereka kekal bahkan hingga akhir zaman nanti. Di ayat
yang lain, Allah SWT berkalam (surat Ash Shaffat ayat 108) wa taraknaa alaihi
fil aakhirin
(dan kami tinggalkan atas ajaran itu hingga akhir nanti).

4.      
Investasi terbaik. Dalam hadits yang terkenal, Rasulullah
bersabda bahwa ada tiga amalan yang tidak akan terputus amalannya bahkan ketika
orang tersebut sudah meninggal. Pertama, shadaqah jariyah. Kedua, ilmu yang
bermanfaat dan ketiga adalah anak shalih yang selalu mendoakan kedua orang tua.
Dari ketiga hal itu, anak shalih adalah investasi yang terbaik. Dengan memiliki
anak shalih yang baik, ia akan menelurkan kebaikan itu keada anaknya. Anaknya
kepada anaknya lagi, dst. Bayangkan, dengan hal itu, kita akan terus
mendapatkan kiriman doa dari anak-anaknya. Sebagaimana yang diinvestasikan oleh
Nabi Ibrahim. Beliau selain seorang Nabi, juga menelurkan banyak Nabi dari keturunan
beliau. Mulai dari Nabi Ishaq hingga Nabi Muhammad SAW.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *