Cara Musafir Shalat di Belakang Mukim |
Ketika seseorang melaksanakan safar ke suatu tempat dan hendak melakukan shalat qashar, tak jarang ia harus melakukan shalat berjamaah di belakang imam yang tidak safar (mukim). Lantas, bagaimana hukum fiqih dalam hal ini. Apakah ia tetap
boleh melakukan qashar atau harus tetap menggenapkan shalatnya, sebagaimana shalat orang yang mukim ?
Ulama Empat Madzhab
Ulama empat madzhab berbeda pendapat dalam menyikap hal ini, apakah orang musafir itu harus mengikuti jumlah rakaat orang mukim atau justru ia boleh memutus shalat di
tengah-tengah dengan tetap melaksanakan shalat qashar dua rakaat ?
Ulama madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa seorang musafir yang bermakmum kepada mukim harus mengikuti jumlah rakaat imam mukim tersebut, baik ia masuk mengikuti imam di awal maupun di akhir (Al Mabsut lis Sharkhasiy, 1/248). Sebagai contoh, ketika ada musafir yang ingin berpegian ke suatu tempat dan hendak melaksanakan shalat dhuhur lantas ia sejak takbiratul ihram berada di belakang imam yang tidak qashar (mukim), maka ia tetap harus menggenapkan empat rakaat. Tidak
boleh dipotong pada rakaat kedua atau mengambil dua rakaat akhir tanpa harus menambah dua rakaat. Mereka berdalih bahwa makmum itu bagaimana pun keadaannya wajib untuk mengikuti imam. Ketika imam itu shalat empat rakaat, maka makmum harus shalat empat rakaat walaupun ia musafir (Al Mabsut lis Sharkhasiy, 2/105). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
“Sesungguhnya imam itu ada untuk diikuti”. HR. Al Bukhari
Pendapat madzhab Malikiyyah tidak jauh berbeda dengan Hanafiyyah. Seorang musafir yang melakukan
shalat di belakang mukim wajib hukumnya untuk menyempurnakan shalatnya menjadi empat rakaat. Namun bagi mereka, orang yang melaksanakan shalat dengan model
seperti ini hukumnya makruh sehingga lebih baik dihindari (Al Khulashatul
Fiqhiyyal ala Madzhabis Saadatil Malikiyyah/120). Bahkan dalam kitab Ad Durrust Tsamin disebutkan bahwa apabila disebuah masjid ada sekelompok orang yang ingin
melakukan qashar dan kelompok lain ingin melakukan shalat seperti biasa, maka dianjurkan untuk setiap kelompok shalat sendiri-sendiri (Ad Durrust Tsamin, hlm. 190). Dalil mereka pun tidak jauh berbeda dengan madzhab Hanafiyyah, bahwa imam itu wajib untuk diikuti termasuk dalam hal qashar tidaknya.
Madzhab Syafiiyyah bahkan berpendapat bahwa salah satu syarat seseorang boleh melaksanakan
qashar ialah ia tidak bermakmum kepada seorang mukim. Imam An Nawawi dalam Al Majmu Syarhul Muhadzdzab (4/356) menggambarkan beberapa model seorang musafir menjadi makmumnya orang mukim. Beberapa contoh yang beliau sebutkan
seperti ketika ada seorang makmum yang ingin melakukan qashar masuk ke shalat sesaat sebelum imam salam dan juga ketika imam mukim batal shalatnya sesaat setelah makmum musafir melaksanakan takbiratul ihram. Dalam keadaan seperti
ini, keduanya wajib untuk melaksanakan shalat seperti shalat imam.
Pendapat yang sedikit berbeda dari tiga madzhab sebelumnya ialah pendapat madzhab Hanabilah. Dalam Syarh Zaadul Mustaqni (7/179) disebutkan bahwa seorang musafir yang shalat di belakang mukim boleh untuk tetap melanjutkan shalat qasharnya. Landasanya ialah bahwa niat qashar itu tidak menghilangkan makna iqtida’
(mengikuti). Artinya, seorang musafir yang ingin tetap qashar di belakang mukim itu tetap disebut mengikuti imam, meskipun hanya berbeda di jumlah rakaat saja.
Ibnu Hazm dari madzhab Dhahiriyyah pun memiliki pendapat yang serupa dengan madzhab Hanabilah. Dalil beliau ialah hadits-hadits tentang bolehnya melaksanakan shalat qashar secara umum.
Ibnu Hazm dari madzhab Dhahiriyyah pun memiliki pendapat yang serupa dengan madzhab Hanabilah. Dalil beliau ialah hadits-hadits tentang bolehnya melaksanakan shalat qashar secara umum.
Kesimpulan
Madzhab jumhur (mayoritas) ulama yang mengatakan bahwa makmum musafir yang berada di belakang
imam mukim wajib menggenapkan rakaat sebagaimana shalatnya orang mukim adalah pendapat yang lebih bisa dipertanggung jawabkan. Hal ini dikuatkan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara eksplisit sebagai berikut :
عَنْ مُوسَى بْنِ سَلَمَةَ قَالَ: كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ، فَقُلْتُ: إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعًا، وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ. قَالَ: تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . رواه أحمد
Dari Musa bin Salamah, ia berkata,”Kami dahulu bersama Ibnu Abbas di Mekah. Maka aku pun berkata,”Sesungguhnya dahulu ketika kami berama kalian (mukim) kami shalat empat rakaat. Ketika kami kembali ke kendaraan-kendaraan kami, kami shalat dua rakaat.” Beliau berkata,”Itu adalah sunnah dari Abu Qashim (Nabi Muhammad) shallallahu alaihi wa sallam.” HR. Ahmad
Suka menulis, membaca dan belajar. Alumni Islamic University of Madinah dan kini sedang melanjutkan study di fakultas Studi Islam UMJ.
Siip tadz