Cadar
dan Jilbab dari Luar Islam?
Akhir-akhir ini, di negeri kita Indonesia digemparkan dengan isu
pelarangan cadar dan celana cingkrang di lingkungan kantor Kementerian Agama. Bahkan,
ada beberapa orang yang mengatakan bahwa cadar itu pada asalnya berasal dari
adat Yahudi maupun tradisi kebudayaan lain selain Islam. Benarkan demikian ? Dalam
artikel ini, kita akan membahas hal tersebut Insyallah.
pelarangan cadar dan celana cingkrang di lingkungan kantor Kementerian Agama. Bahkan,
ada beberapa orang yang mengatakan bahwa cadar itu pada asalnya berasal dari
adat Yahudi maupun tradisi kebudayaan lain selain Islam. Benarkan demikian ? Dalam
artikel ini, kita akan membahas hal tersebut Insyallah.
Kenyataan Cadar dan Jilbab
Dalam artikel yang ditulis oleh Yahya Fathur Rozie pada website
ibtimes.id, ia menukil pernyataan Fathonah K. Daud bahwa cadar ternyata
merupakan tradisi pakaian yang dipakai di beberapa negara Timur Tengah, Arab,
atau sebagian negara di Afrika. Bahkan, tidak hanya Muslimah, cadar juga
menjadi pakaian khas bagi sebagian kaum Yahudi. Seperti Yahudi Lev Tahor,
Yahudi Heredi Burqa, Yahudi Yaman, Yahudi Ethiopia atau Beta Israel. Tidak
hanya disitu, Yahya juga menukil pernyataan Nasaruddin Umar bahwa Nasrani
Koptik di Mesir, Sikh, dan Hindu juga memakai cadar. Bahkan ada juga cadar yang
dipakai oleh kaum lelaki dari Suku Arab Toureg. [1]
ibtimes.id, ia menukil pernyataan Fathonah K. Daud bahwa cadar ternyata
merupakan tradisi pakaian yang dipakai di beberapa negara Timur Tengah, Arab,
atau sebagian negara di Afrika. Bahkan, tidak hanya Muslimah, cadar juga
menjadi pakaian khas bagi sebagian kaum Yahudi. Seperti Yahudi Lev Tahor,
Yahudi Heredi Burqa, Yahudi Yaman, Yahudi Ethiopia atau Beta Israel. Tidak
hanya disitu, Yahya juga menukil pernyataan Nasaruddin Umar bahwa Nasrani
Koptik di Mesir, Sikh, dan Hindu juga memakai cadar. Bahkan ada juga cadar yang
dipakai oleh kaum lelaki dari Suku Arab Toureg. [1]
Selain cadar, Yahya juga menukil beberapa pendapat yang menyatakan
bahwa jilbab pada asalnya bukan dari Budaya Arab, namun jilbab adalah sebuah
budaya yang diadopsi bangsa Arab dari Mesopotamia-Persia ketika meletus perang
antara Romawi-Byzantium dengan Persia. Di akhir artikelnya, Yahya mengatakan,“Bisa
disimpulkan bahwa cadar dan jilbab memang bukanlah murni produk tradisi Islam.
Karena model pakaian dan pemakaian cadar dan jilbab sudah ada sebelum agama
Islam diturunkan di muka bumi ini.” [2]
bahwa jilbab pada asalnya bukan dari Budaya Arab, namun jilbab adalah sebuah
budaya yang diadopsi bangsa Arab dari Mesopotamia-Persia ketika meletus perang
antara Romawi-Byzantium dengan Persia. Di akhir artikelnya, Yahya mengatakan,“Bisa
disimpulkan bahwa cadar dan jilbab memang bukanlah murni produk tradisi Islam.
Karena model pakaian dan pemakaian cadar dan jilbab sudah ada sebelum agama
Islam diturunkan di muka bumi ini.” [2]
Tentu pernyataan Yahya di atas tidak semuanya dapat dibenarkan.
Adanya kesamaan dalam suatu hal, tidak berarti pasti berasal dari sumber yang
sama. Artinya, sama-sama memakai jilbab, bukan berarti jilbab maupun cadar
dalam agama Islam mengambil dan meniru tradisi selain Islam.
Adanya kesamaan dalam suatu hal, tidak berarti pasti berasal dari sumber yang
sama. Artinya, sama-sama memakai jilbab, bukan berarti jilbab maupun cadar
dalam agama Islam mengambil dan meniru tradisi selain Islam.
Memang benar dalam tradisi Yahudi dan Kristen, penggunaan jilbab
(atau oleh Yahya disebut dengan veil) telah ada, , namun Islam telah memberikan
corak lain selain yang ada pada tradisi Yahudi dan Nashrani, atau bisa kita
sebut sebagai Islamisasi Jilbab.
(atau oleh Yahya disebut dengan veil) telah ada, , namun Islam telah memberikan
corak lain selain yang ada pada tradisi Yahudi dan Nashrani, atau bisa kita
sebut sebagai Islamisasi Jilbab.
Sebagai contoh, jilbab dalam Islam mempunyai kriteria dan sifat
yang memang harus dipenuhi oleh seorang muslimah apabila ia ingin mengenakan
jilbab sebagaimana yang diperintahkan dalam agama. Salah satu contoh kriteria
tersebut ialah harus menutup semua kepala sampai kepada dada. Hal itu
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 31 surat An Nur berikut :
yang memang harus dipenuhi oleh seorang muslimah apabila ia ingin mengenakan
jilbab sebagaimana yang diperintahkan dalam agama. Salah satu contoh kriteria
tersebut ialah harus menutup semua kepala sampai kepada dada. Hal itu
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 31 surat An Nur berikut :
“Dan
katakanlah (Wahai Muhammad) kepada perempuan-perempuan beriman, hendaknya
mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka, dan hendaknya
tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang Nampak dan menutub
jilbab mereka sampai ke dadanya.”
katakanlah (Wahai Muhammad) kepada perempuan-perempuan beriman, hendaknya
mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka, dan hendaknya
tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang Nampak dan menutub
jilbab mereka sampai ke dadanya.”
Ketika menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Katsir menyatakan secara
jelas, bahwa perintah Allah kepada perempuan beriman supaya mengenakan jilbab hingga
menutup dada bertujuan untuk menyelisihi apa yang dilakukan oleh
perempuan-perempuan Jahiliyyah pada zaman itu. Karena pada zaman itu, perempuan
Jahiliyyah tidak mengenakan apapun di atas kepada mereka. [3]
jelas, bahwa perintah Allah kepada perempuan beriman supaya mengenakan jilbab hingga
menutup dada bertujuan untuk menyelisihi apa yang dilakukan oleh
perempuan-perempuan Jahiliyyah pada zaman itu. Karena pada zaman itu, perempuan
Jahiliyyah tidak mengenakan apapun di atas kepada mereka. [3]
Selain diwajibkannya menutup dada, Islam juga mengharuskan untuk
mengenakan pakaian atau kain (termasuk di dalamnya jilbab) yang tidak tembus
pandang. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Abu Hurairah berikut:
mengenakan pakaian atau kain (termasuk di dalamnya jilbab) yang tidak tembus
pandang. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Abu Hurairah berikut:
“Dua
golongan yang termasuk penduduk neraka yang aku (Rasulullah) belum pernah
melihatnya, 1) Sekelompok orang yang membawa cambuk seperti ekor sapi dan
digunakan untuk memukuli manusia, 2) Perempuan yang berpakaian namun
telanjang dan suka berlenggak lenggok, kepala mereka seperti punuk unta.
Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya surga.” [4]
golongan yang termasuk penduduk neraka yang aku (Rasulullah) belum pernah
melihatnya, 1) Sekelompok orang yang membawa cambuk seperti ekor sapi dan
digunakan untuk memukuli manusia, 2) Perempuan yang berpakaian namun
telanjang dan suka berlenggak lenggok, kepala mereka seperti punuk unta.
Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya surga.” [4]
Imam An Nawawi, ketika memberikan keterangan perihal ‘perempuan
yang berpakaian namun telanjang tersebut’ menerangkan bahwa maksudnya ialah
memakai baju tipis yang menampakan warna kulitnya. [5]
yang berpakaian namun telanjang tersebut’ menerangkan bahwa maksudnya ialah
memakai baju tipis yang menampakan warna kulitnya. [5]
Dari dua kriteria jilbab yang disebutkan dalam Al Quran dan Hadits
di atas saja tentu sudah menjadi sebuah pembeda antara jilbab yang dikenakan
oleh Yahudi dan Nashari dengan apa yang dikenakan oleh seorang muslimah. Begitu
juga, kewajiban memakai jilbab ini dalam Islam bersifat umum, baik bagi istri
ustadz, istri dosen, guru atau muslimah biasa. Berbeda dengan jilbab yang ada
dalam Yahudi maupun Nashrani yang hanya diwajibkan bagi para biarawati gereja
saja.
di atas saja tentu sudah menjadi sebuah pembeda antara jilbab yang dikenakan
oleh Yahudi dan Nashari dengan apa yang dikenakan oleh seorang muslimah. Begitu
juga, kewajiban memakai jilbab ini dalam Islam bersifat umum, baik bagi istri
ustadz, istri dosen, guru atau muslimah biasa. Berbeda dengan jilbab yang ada
dalam Yahudi maupun Nashrani yang hanya diwajibkan bagi para biarawati gereja
saja.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa meskipun jilbab dalam
ajaran selain Islam itu ada, namun hal itu tidak berarti bahwa Islam meniru apa
yang sudah ada dalam ajaran selain Islam tersebut. Syariat Islam ini murni
datangnya dari Allah SWT langsung kepada Nabi Muhammad. Dan beliau pun, tidak
pernah mempelajari ajaran Yahudi maupun Nashrani sebelumnya, sehingga sangat naïf
apabila dikatakan bahwa jilbab merupakan ajaran ‘serapan’ dari ajaran Yahudi
maupun Nahsrani tersebut.
Sebagai penutup, apabila ada sebuah ajaran di luar Islam yang sudah dijalankan sebelum Islam itu datang, kemudian ketika Islam mulai datang, ajaran itu diakui dan ditetapkan secara nash sebagai salah satu ajaran Islam, secara otomatis ajaran itu merupakan sebuah perintah yang Allah perintahkan. Seperti halnya jilbab. Ia memang tradisi Yahudi dan Nashrani sebelum datangnya Islam, namun ketika Allah dan Rasul-Nya mempertegas dan menekankan kewajiban itu pada ajaran Islam, otomatis jilbab menjadi salah satu perintah Allah yang tidak boleh ditentang oleh seorang muslim. [bfr]
ajaran selain Islam itu ada, namun hal itu tidak berarti bahwa Islam meniru apa
yang sudah ada dalam ajaran selain Islam tersebut. Syariat Islam ini murni
datangnya dari Allah SWT langsung kepada Nabi Muhammad. Dan beliau pun, tidak
pernah mempelajari ajaran Yahudi maupun Nashrani sebelumnya, sehingga sangat naïf
apabila dikatakan bahwa jilbab merupakan ajaran ‘serapan’ dari ajaran Yahudi
maupun Nahsrani tersebut.
Sebagai penutup, apabila ada sebuah ajaran di luar Islam yang sudah dijalankan sebelum Islam itu datang, kemudian ketika Islam mulai datang, ajaran itu diakui dan ditetapkan secara nash sebagai salah satu ajaran Islam, secara otomatis ajaran itu merupakan sebuah perintah yang Allah perintahkan. Seperti halnya jilbab. Ia memang tradisi Yahudi dan Nashrani sebelum datangnya Islam, namun ketika Allah dan Rasul-Nya mempertegas dan menekankan kewajiban itu pada ajaran Islam, otomatis jilbab menjadi salah satu perintah Allah yang tidak boleh ditentang oleh seorang muslim. [bfr]
*Mahasiswa fakultas Syariah, Universitas Islam Madinah.
[1] https://ibtimes.id/jilbab-dan-cadar-warisan-tradisi-pra-islam/
[2] https://ibtimes.id/jilbab-dan-cadar-warisan-tradisi-pra-islam/
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir Qur’anil Adhim, jld. 2, hlm. 657.
Ibnu Katsir, Tafsir Qur’anil Adhim, jld. 2, hlm. 657.
[4]
Imam Muslim, Shahih Muslim, no. 5704, jld. 6, hlm. 168.
Imam Muslim, Shahih Muslim, no. 5704, jld. 6, hlm. 168.
[5] An
Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jld. 7, hlm. 339.
Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jld. 7, hlm. 339.
Suka menulis, membaca dan belajar. Alumni Islamic University of Madinah dan kini sedang melanjutkan study di fakultas Studi Islam UMJ.