Menu Tutup

Belajar Fiqih dari Dalil apa Matan Dulu?

 

Di artikel ini, saya ingin sharing pengalaman
pribadi ketika nyantri sana-sini khususnya dalam hal fiqih. Banyak hal yang
perlu diceritakan dan didiskusikan. Salah satunya dalam metode pembelajaran
fiqih ini, apakah dimulai dari dalil dulu atau matan fiqihnya dulu?

Untuk menjawab itu, saya ingin sedikit
bercerita latar belakang Pendidikan fiqih saya. Sebelum berkenalana di Kota
Nabi, Madinah Al Munawwarah, dulu saya sempat nyantri di salah satu Kiai dengan
mengkhatamkan kitab Bulughul Maram susunan Ibnu Hajar dari awal babnya sampai
akhir. Meskipun tidak dhabit shudur (hafal di luar kepala) hadits-hadits
yang ada pada kitab tersebut, namun setidaknya karena pernah belajar, saya jadi
tahu dalil mengangkat tangan ketika takbiratul ihram itu apa, dalil tentang ini
itu apa, dalil tentang itu, dst. Namun yaa… itu semua masih bisa dibilang dhabit
kitab
(hanya hafal kalau lihat kitab). Jadi, selama saya nyantri kitab Bulugul
Maram selama kurang lebih 8 tahun tersebut, saya lebih mengenal dalil fiqih
daripada matan fiqih. Dan jujur saja, semenjak saya nyantri, belum pernah
sekalipun bersentuhan dengan matan fiqih tertentu dan mengkajinya dengan
serius.

Namun, ternyata Allah memberikan kesempatan
yang lain bagi saya. Terutama dalam pembelajaran fiqih. Owh iya… dulu pun saya sempat
ragu, apakah saya harus mengambil fakultas dakwah dan ushuluddin di Islamic
University of Madinah atau fakultas Syariah. Akhirnya, pilihan saya mantab di fakultas
Syariah dan sekali lagi, karena fakultas Syariah ialah fakultas yang lebih
mendalami fiqih dan ushul fiqih, maka saya pun bersentuhan erat Kembali dengan
fiqih. Namun kali ini, pengamalannya berbeda. Di kampus kami ini, muqorror inti
fiqihnya ialah kitab Bidayatul Mujtahid susunan Ibnu Rusyd Al-Hafid. Dalam
kitab itu, Ibnu Rusyd yang bermadzhab Maliki lebih mengedepankan masalah fiqhiyyah
dan jarang mencantumkan dalil bagi sebuah permasalahan fiqih. Kalaupun ada,
kadang tidak mendetail. Makannya, para Syekh kami sering menambahkan keterangan
untuk melengkapi khazanah dalil fiqih kita.

Selain kuliah formal di kampus, saya juga
sempat talaqqi kepada Syekh Sulaiman Ar Ruhailiy di masjid Nabawi yang mensyarah
kitab Dalilut Thalib li Naili Mathalib, salah satu matan madzhab Hanbali. Ada
juga talaqqi di Barnamaj Istra’ Mutun yang membahas matan Abi Syuja, salah satu
matan madzhab Syafi’i. Semua pelajaran fiqih yang saya pelajari di Madinah ini dimulai
dari matan terlebih dahulu baru ke dalil hadits maupun Al Qur’an.

Maka, dari dua metode pembelajaran fiqih yang
pernah saya jalani tersebut, baik dari dalil dulu baru ke masalah fiqih seperti
ketika saya nyantri di Kiai saya, maupun dari matan dulu baru ke dalil seperti
yang saya pelajari di kampus dan masjid Nabawi, saya bisa mengkomparasikan dua metode
tersebut.

Menurut saya pribadi, kelebihan belajar dalil
dulu ialah lebih dalam dalam istinbath hadits, lebih paham tentang mushthalah
hadits dan yang paling penting ialah tahu dalil atas suatu permasalahan fiqih.
Namun kurangnya, saya ketika itu tidak bisa membedakan yang mana itu rukun,
sunnah atau syarat dalam suatu bab fiqih karena memang tidak diterangkan secara
mendetail dalam hal itu. Sebagai contoh, ketika saya nyantri itu, saya tidak
bisa menyebutkan secara pasti apa saja rukun, syarat, sunnah dan hai’ah sholat
itu. Tentu konsekwensi dari hal ini tidak mudah, ketika tidak bisa membedakan
mana itu rukun, syarat, sunnah dan hai’ah dalam sholat, maka ketika ada
seseorang yang salah dalam sholat, ia tidak bisa membedakan mana yang harus disujud
sahwi’i dan mana yang tidak.

Sedangkan apabila dari matan fiqih dulu,
kelebihannya ialah lebih tahu tentang masalah furu’ fiqih dan lebih mendalam dalam
suatu permasalahan fiqih. Kelemahannya, kadang tidak bisa menyebutkan dalil
dari suatu permasalahan. Akibatnya pun tidak juga sepele, apabila dihadapkan
pada dua pendapat yang saling bertentangan, karena minimnya dalil yang dia
tahu, kadang tidak bisa mentarjih salah satu dari dua pendapat tersebut.

Di balik itu semua, saya merasa sangat
beruntung pernah melalui dua metode Pendidikan fiqih tersebut. Dari segi dalil,
alhamdulillah sudah pernah khatam, meskipun hanya seujung kuku, dan dari segi
matan, alhamdulillah juga sudah khatam, meskipun belum semua bab dalam semua
madzhab yang dipelajari. Walillahil hamdu wal minnah.

Kalau saya ditanya, lebih baik mana antara
dua metode tersebut, maka saya tidak bisa mengatakan yang satu lebih baik
daripada yang lain, karena memang semuanya memiliki kurang dan lebihnya
sendiri. Namun, kalau saya boleh usul, apabila ada sebuah pondok pesantren yang
memiliki tingkat Pendidikan Tsanawi dan Aliyah, maka mungkin di pendidikan Tsanawi
bisa dimulai dari matan dulu baru kemudian di tingkat Aliyah menjurus ke dalil
sehingga semuanya bisa tercover, wallahu a’lam.

 

 

*Bilal Fahrur Rozie, Lc.

Renungan malam, sebelum besok mengajar materi
fiqih.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *