Bilal Fahrur Rozie
Sejak dua pekan lalu, saya melihat di twitter perdebatan antara orang
yang mengatakan wajibnya berhijab dengan yang mengatakan tidak. Tentu keduanya
memiliki argumen masing-masing. Namun, yang menarik disini ialah selalu dalam
setiap perdebatan, ada ungkapan ‘Ini masalah khilafiyah’. Seakan dengan adanya
masalah khilafiyah tersebut, semua boleh memilih semaunya. Lantas, bagaimana
seharusnya kita menyikapi masalah khilafiyah tersebut?
Perbedaan dalam hal fiqih itu bisa dikategorikan menjadi dua. Perbedaan
yang dinilai dalam syariat (khilafiyah mu’tabarah) dan perbedaan yang
tidak dinilai dalam syariat (khilafiyah ghairu mu’tabarah). Perbedaan
yang dinilai dalam syariat ialah perbedaan yang memang berdasarkan atas dalil
yang benar dengan argument yang kuat. Sedangkan perbedaan yang tidak dinilai
dalam syariat itu ialah perbedaan yang tidak didasari atas sebuah dalil.
Contoh khilafiyah mu’tabarah ialah perbedaan dalam hal apakah
surat Al Fatihah itu wajib dibaca oleh makmum dalam sholat sirr atau tidak.
Kedua pendapat, baik yang mengatakan wajib maupun yang tidak, keduanya
sama-sama memiliki dalil yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Apabila
perbedaan ini termasuk dalam yang mu’tabar, maka silahkan anda untuk memilih
mana dari dua pendapat tersebut yang lebih dekat dan kuat dari segi pengambilan
dalil (istidlal) dan haram hukumnya untuk memilih sebuah pendapat hanya
berdasarkan hawa nafsu maupun ashobiyah.
Sedangkan contoh dari khilafiyah ghairu mu’tabarah ialah
perbedaan dalam hal, apakah jilbab atau kerudung itu wajib atau tidak. Mengapa perbedaan
itu dikategorikan sebagai perbedaan yang tidak dinilai dalam syariat? Hal itu
karena semua ulama sudah sepakat (ijma) bahwa seluruh tubuh perempuan
adalah aurat. Perbedaan yang muncul hanyalah, apakah wajah termasuk dalam aurat
atau tidak, bukan rambut. Artinya, ketika ada orang yang mengatakan bahwa
jilbab itu tidak wajib, dengan mengatakan bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyah
yang diutarakan oleh ulama akhir-akhir ini, tentu perbedaan itu tidak dapat
diterima (ghairu mu’tabarah). Lantas apa yang harus kita lakukan? Yang
harus anda lakukan ialah meninggalkan pendapat yang menyelisihi ijma tersebut
dengan Kembali berpegang kepada kesepakatan ulama (ijmak).
Itulah yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim. Bukan dengan
adanya perbedaan itu ia bebas memilih semaunya. []
Suka menulis, membaca dan belajar. Alumni Islamic University of Madinah dan kini sedang melanjutkan study di fakultas Studi Islam UMJ.