Menu Tutup

Ash Shalatu Khairum Minan Naum, Sejarah dan Hukumnya

  

Lafal Tastwib, Hukum dan Sejarahnya

Dalam sebuah
diskusi, salah seorang santri bertanya,”Ustadz, di adzan sholat subuh apa wajib
mengucapkan ash shalatu khairun minan naum ? Trus, kapan kita harus mengucapkan
lafal itu ? Saya pernah dengar ada penjelasan bahwa ucapan itu dilantunkan di
adzan shalat malam, bukan di adzan shalat subuh. Betulkah ?”

 

Sejarah Ash
Shalatu Khairun Minan Naum

Dalam kitab Al
Mushannaf, Imam Abdurrazaq Ash Shan’aniy menjelaskan sejarah lafal tersebut
dalam salah satu riwayatnya. Ibnu Juraij menceritarakan bahwa Ibnu Muslim
bercerita kepadanya,’Ada salah seseorang yang bertanya kepada Thawus perihal
sejarah lafal tersebut,”Kapan ucapan ash shalatu khairun minan naum itu
pertama kali dilantunkan?” Thawus menceritakan,”Lafal ash shalatu khairun minan
naum itu belum pernah sekali pun dilantunkan di zaman Nabi Muhammad. Namun,
Bilal bin Rabah pernah mendengarkan ucapan itu dari seseorang di zaman Abu
Bakar. Mendengarkan lafal itu, Bilal berinisiatif untuk menjadikannya salah
satu bagian adzan. Tidak beberapa lama Abu Bakar radhiyallahu anhu pun
meninggal.  Di zaman Umar radhiyallahu
anhu, beliau pernah berkomentar,”Bisa jadi, kita akan melarang apa yang
dilakukan oleh Bilal. Namun beliau lupa dan hal itu tetap dilaksanakan hingga
saat ini.” (Al Mushannaf, no. 1827).

Di riwayat yang
lain, Said bin Musayyab meriwayatkan suatu hadits yang mursal bahwa ucapan Ash
shalatu khairun minan naum ini pertama kali diucapkan oleh Bilal bin Rabah di
saat ingin membangunkan Rasul untuk melaksanakan shalat subuh. Namun, hadits
ini dhaif karena tidak adanya shahabat setelah Said bin Musayyab (Al
Mushannaf, no. 1885
).

 Baca juga,”Jujur, Jaminan Keselamatan Dunia Akhirat

Hukum Tastwib
Menurut Empat Madzhab

Dalam menentukan
hukum ini, kita akan menelisik pendapat empat madzhab mengenai hal itu,
kemudian kita juga akan berusaha mengetahui bagaimana pendapat beberapa ulama
Indonesia tentang hal itu. Dalam madzhab Hanafiyyah, mengucapkan tastwib (lafal
ash shalatu khairun minan naum) dalam adzan subuh itu hukumnya sunnah. Mereka
mendasari pendapat ini dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bilal bin
Rabah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,”Wahai Bilal,
ucapkanlah tastwib di shalat subuh dan jangan kamu mengucapkan itu di shalat
yang lain.” (At Tajrid lil Qaduriy, 1/423). Waktu mengucapkan lafal itu
ialah di shalat subuh setelah melantunkan adzan. Imam As Sarkhasiy menambahkan
bahwa ucapan itu dilantukan antara adzan dan iqomah dengan bentuk lafal yang
dapat dipahami oleh penduduk setempat. Bisa saja dengan ‘ash shalatu khairun
minan naum
’ atau dengan mengucapkan ‘shalat, shalat’ dsb. Beliau
kembali menjelaskan bahwa hikmah mengapa dianjurkannya mengucapkan lafal itu di
shalat subuh ialah karena pada waktu itu, ada kemungkinan besar orang-orang
masih tertidur. Oleh karena itu, mereka berusaha dibangunkan dengan lafal itu.
Pun, imam disunnahkan untuk membaca ayat yang panjang di shalat subuh, supaya
orang-orang tidak banyak yang tertinggal melaksanakan shalat itu secara
berjamaah (Al Mabsuth, 1/130).  

Sedangkan menurut
madzhab Malikiyyah, lafal ash shalatu khairun minan naum itu diucapkan
dalam adzan setelah lafal hayya alal falah. Dalam hal ini, mereka berdalih
dengan suatu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Mahdhurah. Beliau pernah diperintah
oleh Rasul untuk adzan di Masjidil Haram. Abu Mahdhurah pun bertanya kepada
Rasul tentang bagaimana lafal adzan itu. Beliau mengajarkan adzan sebagaimana
biasa dan dari apa yang Rasul ajarkan itu terdapat lafal ash shalatu khairun
minan naum
pada adzan subuh (Al Mudawwanah, 1/157).

Baca juga,”Haruskah Berdoa itu Menghadap ke Kiblat

Dalam kitab Al
Hawi Al Kabir, Imam Al Mawardi menjelaskan bahwa Imam Asy Syafi’I dalam bab tastwib
(lafal ash shalatu khairun minan naum) mempunyai dua pendapat. Di pendapat
yang lama (al qaulul Qadim), beliau mengatakan bahwa hal itu sunnah sebagaimana
riwayat Bilal bin Rabah serta Ali bin Abi Thalib. Pada pendapat yang baru (al
qaulul jadid), beliau mengatakan bahwa tastwib itu makruh karena Abu Mahdhurah
sebagai rawi hadits adzan dengan tastwib tidak menyebutkan bahwa ia dapat lafal
itu dari Nabi. Namun, Imam Al Mawardi, sebagai salah satu imam besar dalam
madzhab Syafi’iyyah mengatakan bahwa yang paling berhak untuk dijadikan
pegangan ialah pendapat Imam Asy Syafi’I yang lama. Hal itu karena Imam Asy
Syafi’I pernah menyampaikan bahwa apabila haditsnya shahih, maka itu madzhab beliau.
Untuk tastwib ini, menurut Al Mawardi, hadits yang paling shahih ialah
sebagaimana pendapat lama Imam Asy Syafi’i. Oleh karena itulah, mengapa Syafi’iyyah
berpendapat bahwa lafal tastwib itu sunnah (Al Hawi Al Kabir, 2/55).

Madzhab Hanabilah
dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Madzhab
Malikiyyah dan Syafi’iyyah. Namun Ibnu Qudamah menambahkan bahwa makruh
hukumnya untuk mengucapkan tastwib di adzan lain selain adzan subuh. Sebagaimana
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bilal bin Rabah bahwa beliau itu diminta
oleh Rasul untuk mengucapkan taswib di shalat subuh saja dan tidak mengucapkan
hal itu di shalat isya.

 Baca juga,”Hikmah Yatimnya Nabi Muhammad

Hukum Tastwib
Menurut Muhammadiyah dan NU

Dalam Muktamar
Muhammadiyah persoalan ini sudah dibicarakan tetapi belum diperoleh keputusan
yang final, taswib pada azan pertama (azan sebelum adzan subuh) sudah
disepakati bahwa itu masyru’ sedangkan pada azan yang kedua apakah masih dibaca
atau tidak, masih belum disepakati. Akan tetapi karena keputusan Muktamar
Palembang yang memutuskan azan subuh itu dengan taswib, maka membaca taswib
pada azan subuh kedua masih berlaku (tablig.org).

NU pun tidak jauh
berbeda dalam memandang hal ini. Dalam nuonline.com disebutkan bahwa lafal
tastwib itu disunnahkan untuk dilantunkan di adzan subuh setelah hayya alal
falah, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh madzhab Syafi’iyyah. Wallahu a’lam.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *