Beberapa hari yang lalu, medsos dihebohkan dengan adanya seorang anak perempuan dari salah seorang pesohor yang sengaja melepas hijabnya. Anak tersebut lantas memposting foto dirinya tanpa hijab di medsos. Beberapa orang lantas berkomentar,”Kasihan orang tuanya, menanggung dosa sang anak.” Dengan diakhiri emoticon sedih.
Pertanyaan yang muncul kemudian ialah apakah benar orang tua akan mendapatkan dosa kiriman dari anak ? Untuk menjawab itu, perlu kiranya kita bahas beberapa pembahasan mendasar berikut.
Usia Anak Mulai Bertanggung Jawab dengan Pahala dan Dosa
Untuk menjawab pertanyaan apakah orang tua mendapatkan dosa kiriman dari anak, maka perlu menjawab terlebih dahulu pada usia berapa seorang anak dianggap bertanggung jawab dengan pahala dan dosa ?
Manusia itu menurut pandangan fiqih terbagi menjadi tiga fase. Ghairu mukallaf (belum terbebani suatu konsekwensi hukum), mumazziy (mampu membedakan baik dan buruk) serta mukallaf (terbebani suatu konsekwensi hukum). Hal ini berdasarkan hadits dari shahabat
1. Ghairu Mukallaf
Seorang anak dikatakan ghairu mukallaf ketika seorang laki-laki belum mengalami mimpi basah dan ketika seorang perempuan belum mengalami masa haidh. Seorang anak yang ghairu mukallaf itu tidak dibebani suatu konsekwensi hukum. Ia tidak berdosa apabila meninggalkan suatu yang wajib. Ulama menjelaskan bahwa menurut kebiasaan, seorang anak laki-laki termasuk ghairu mukallaf hingga ia berumur 10 tahun dan 9 tahun bagi perempuan. Namun ketentuan umur ini bukan menjadi suatu hal yang paten. Ia akan menerima revisi tergantung perkembangan zaman.
Seorang anak ghairu mukallaf tidak dibebani suatu konsekwensi hukum itu berdasarkan hadits berikut :
عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّغِيرِ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ . رَوَاهُ الدَّارِمِيُّ
Dari Aisyah dari Nabi SAW, beliau berdabda,”Tulisan (amal baik dan buruk) itu diangkat dari tiga orang. Dari orang yang tidur hingga ia bangun. Dari anak kecil hingga ia mengalami mimpi basah dan dari orang gila hingga ia sadar.”HR. Ad Darimiy
Baca juga,”Etika Mencari Nafkah dalam Islam“
2. Mumayyiz
Fase kedua ialah mumayyiz. Mumayyiz ialah ketika seorang anak yang belum baligh sudah bisa membedakan mana baik dan mana yang buruk. Sebenarnya, fase mumayyiz ini masih tergolong ghairu mukallaf. Artinya, ia belum dibenani suatu konsekwensi hukum juga. Fase mumayyiz ini adalah fase transisi dari ghairu mukallaf menuju mukallaf. Di fase ini, seorang anak harus mulai diajarkan apa saja yang wajib ia lakukan. Terlebih dalam hal sholat. Hal itu berdasarkan hadits berikut :
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ . رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ
“Kalian perintahlah anak-anak kalian untuk melaksanakan sholat di umur tujuh tahun. Pukullah mereka untuk melakukan itu di umur sepuluh tahun. Dan pisahkanlah mereka di ranjang.” HR.Abu Dawud
3. Mukallaf
Ketika sudah mengalami fase ghairu mukallaf dan mumayyiz, selanjutnya seorang anak akan mengalami fase mukallaf. Mukallaf ialah fase seseorang mulai menerima suatu konsekwensi hukum. Fase ini dimulai ketika seseorang sudah baligh. Mimpi basah bagi laki-laki dan haidh bagi perempuan. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra. di atas.
Setiap Orang Bertanggung Jawab kepada Diri Sendiri
Dari ketiga fase di atas, seseorang mulai bertanggung jawab dengan suatu konsekwensi hukum apabila sudah memasuki fase mukallaf. Di fase ini, setiap orang akan mempertanggungkan setiap perbuatannya di dunia. Pertanggungjawaban ini tidak bisa diwakilkan oleh orang lain. Allah SWT berkalam :
ﵟوَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ ﵞ
“Tidaklah seseorang itu bisa menanggung tanggunan orang lain.” Q.S Al An’am : 164
Suami Bertanggung Jawab kepada Keluarga
Meskipun setiap orang harus mempertanggungjawabkan amalannya masing-masing, suami memiliki tanggung jawab lebih kepada keluarganya. Ia diwajibkan untuk mengurus keluarga untuk kebaikan dunia dan akhirat sesuai tuntunan syariat. Tanggung jawab ini termasuk taklif (beban) yang harus dilaksanakan oleh seorang suami. Allah SWT berkalam :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما: أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda,”Setiap dari kalian adalah penanggung jawab dan akan mempertanggungjawabkan dari setiap urusannya. Seorang pemimpin adalah penanggungjawab dari rakyatnya. Seorang laki-laki pada keluarganya adalah seorang penanggungjawab. Ia akan ditanya dengan tanggungjawabnya.” HR. Al Bukhariy
Oleh karenanya, seorang suami itu wajib mengarahkan seluruh anggota keluarganya untuk melakukan hal-hal yang baik sesuai tuntunan syariat. Allah SWT berkalam :
ﵟيَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا ﵞ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka.” Q.S At Tahrim : 6
Baca juga,”Hukum Umrah dengan Berhutang“
Tentang Dosa Kiriman dari Anak
Berdasarkan tiga konsep dasar di atas, seorang suami tidak sepenuhnya dan selamanya menanggung dosa anak dan tidak pula terbebas 100% dari tanggung jawab anak. Perlu penjelasan lebih detail tentang dosa kiriman dari anak ini.
Orang tua, sepanjang hayatnya berkewajiban memberikan arahan dan nasehat baik kepada anaknya. Namun, ketika anak berada di fase ghairu mukallaf dan mumayyiz, ketika anak melakukan suatu hal yang salah, maka anak tidak mendapatkan dosa, begitu juga orang tuanya. Berbeda halnya ketika anak merusak suatu barang, meskipun tidak dosa tetapi orang tua wajib mengganti barang yang rusak tersebut.
Ketika anak berada di fase mukallaf, maka anak sudah bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, ketika ada anak perempuan yang tidak berhijab, ia sendiri yang menanggung dosanya. Ketika orang tua sudah mengarahkan dan menasehati anaknya untuk berhijab. Apabila sudah ditegur dan dinasehati ternyata sang anak enggan, maka kewajiban orang tua sudah gugur. Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Nuh ketika mengajak anaknya beriman. Anaknya enggan untuk hal itu. Maka, anaknya sudah menanggung sendiri dosa itu tanpa dibebankan ke orang tua.
Berbeda halnya ketika orang tua tahu sang anak tidak memakai hijab dan ia tidak menegur serta menasehatinya, maka dosa bisa mengalir kepadanya karena meninggalkan kewajibannya sebagai orang tua untuk membimbing anak.
Suka menulis, membaca dan belajar. Alumni Islamic University of Madinah dan kini sedang melanjutkan study di fakultas Studi Islam UMJ.