Menu Tutup

Apakah Nabi Pernah Melakukan Salah ?

Sebelum membahas apakah Nabi itu pernah melakukan salah, alangkah baiknya terlebih dahulu membahas sifat wajib dan mustahil seorang Nabi. Sifat yang harus ada dalam diri seorang Nabi dan Rasul disebut dengan sifat wajib. Sebaliknya, sifat yang tidak boleh ada dalam diri mereka disebut dengan sifat mustahil. Setiap Nabi dan Rasul harus memiliki sifat shiddiq, tabligh, amanah dan fathanah.

Sifat Wajib Nabi dan Rasul

Shiddiq

Shiddiq ialah jujur. Maksudnya, seorang Nabi harus menyampaikan sesuatu apa adanya, tanpa boleh merubah sedikit pun. Karena ucapan seorang Nabi dan Rasul itu pasti jujur, maka ia yang menjadi tolok ukur dalam menentukan benar tidaknya ucapan orang lain. Ketika ucapan orang lain sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Nabi dan Rasul, maka ia dianggap benar. Namun, ketika ucapan orang lain itu bersebrangan dengan apa yang disampaikan oleh Nabi dan Rasul, maka yang dianggap salah adalah ucapan orang itu, bukan ucapan Nabi.

Tabligh

Tabligh ialah menyampaikan. Maksudnya, seorang Nabi atau Rasul wajib untuk menyampaikan apa yang Allah wahyukan kepadanya tanpa boleh ada satu pun yang disembunyikan. Seperti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau tetap menyampaikan suatu ayat meskipun ayat itu berisi teguran kepada beliau. Seperti yang Allah sebutkan di surat Abasa, Al Mujadalah dan At Tahrim. Padahal secara manusiawi, seseorang akan merasa malu untuk menyampaikan hal-hal yang berisi teguran kepadanya. Namun, karena ini perintah dari Allah, tetap disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Amanah

Amanah ialah tidak berkhianat. Sangat mustahil bagi seorang Nabi atau Rasul untuk berkhianat dari amanah kenabian. Tidak ada satu Nabi pun dalam sejarah yang mengundurkan diri dari amanah kenabian yang telah Allah berikan kepadanya. Meskipun terkadang ada rasa lelah karena umat tidak mau menerima dakwahnya dan meninggalkan umat itu dalam kekufuran, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Yunus, namun beliau akhirnya bertaubat kepada Allah dan kembali kepada kaumnya untuk mengajak mereka kepada tauhid.  

Fathanah

Fathanah yaitu kecerdasan. Seluruh Nabi dan Rasul diberi kecerdasan oleh Allah di luar rata-rata. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di waktu beliau muda. Di sayembara pengembalian hajar aswad ke Ka’bah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lah yang memenangkan. Beliau berinisiatif untuk menghamparkan surbannya, lantas hajar aswad diletakkan di atas surban. Beliau mempersilahkan kepada setiap kepala suku yang ikut sayembara untuk mengambil ujung dari kain surban dan dibawa secara bersama di dekat Ka’bah. Setelah dekat, beliau sendiri yang mengangkat batu itu ke tempatnya. Di sinilah bukti kecerdasan beliau (Urwaniy Abdullah, 1999, hlm. 87-88).

Adapun sifat mustahil seorang Nabi ialah kadzib (dusta), kitman (menyembunyikan), khiyanah (berkhianat) dan balaadah (bodoh).

Sifat Ma’shum dan Tidak Mengetahui Hal Ghaib

Selain sifat wajib, seorang Rasul itu ma’shum (terjaga dari dosa) dan tidak bisa mengetahui hal ghaib, kecuali apa yang sudah Allah beritahukan kepada mereka. Berkaitan dengan dua hal ini, Syekh Ali Ath Thanthawiy menjelaskannya dengan lebih rinci (Ath Thanthawi, 1989, hlm. 158-161).

Nabi dan Rasul itu secara mutlak tidak pernah melakukan dosa. Baik dosa kecil maupun besar. Tidak pernah pula melakukan suatu maksiat, hal-hal yang dapat mencoreng kehormatan seorang Nabi dan segala hal yang dapat mengurangi kesempurnaan pribadi seorang Nabi. Hal itu karena Nabi dan Rasul adalah role model bagi kepribadian muslim. Oleh karena itu, mereka mustahil melakukan hal-hal tersebut. Dalam salah satu ayat disebutkan bahwa dosa Rasul itu semuanya telah dihapuskan oleh Allah, bahkan yang akan datang sekalipun.

ﵟلِّيَغۡفِرَ لَكَ ٱللَّهُ ‌مَا ‌تَقَدَّمَ ‌مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكَ وَيَهۡدِيَكَ صِرَٰطٗا مُّسۡتَقِيمٗا ٢ﵞ 

“Supaya Allah mengampunimu apa yang telah lewat dari dosa-dosamu dan apa yang akan datang. Supaya Dia menyempurnakan nikmatnya kepadamu dan menunjukimu ke jalan yang lurus.”

Q.S Al Fath : 2

Kesalahan Nabi dan Rasul

Adapun untuk kesalahan, maka kesalahan (al khatha’) itu terbagi menjadi empat.

Kesalahan pada Penyampaian Risalah dan Syariat

Pertama, kesalahan yang berkaitan dengan penyampaian risalah dan syariat. Kesalahan seperti ini mustahil terjadi pada diri seorang Nabi maupun Rasul. Hal itu karena Nabi dan Rasul itu tidak pernah sekali pun menyampaikan suatu hal yang berkaitan dengan syariat dan risalah dari hawa nafsunya. Segala hal yang mereka sampaikan tentang ajaran agama adalah wahyu dari Allah (Q.S An-Najm :3-4).

Kesalahan pada Ijtihad

Kedua, kesalahan yang berkaitan dengan suatu ijtihad Rasul terhadap kejadian yang belum ada wahyu dari Allah SWT. Kesalahan seperti ini mungkin saja terjadi pada diri seorang Nabi dan Rasul. Namun, Allah sebagai pembimbing utama para Nabi dan Rasul tidak tinggal diam dan membiarkan mereka berterusan dalam kesalahan. Allah SWT selalu menurunkan ayat yang berisi teguran atas putusan yang salah.

Sebagaimana yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lakukan terhadap Abdullah bin Ummi Maktum ketika hendak menghadiri majelis Rasul bersama para pembesar Quraisy. Pada saat itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedang mengadakan ceramah khusus untuk para pembesar. Dengan harapan mereka bisa masuk Islam dan memberikan sokongan terhadap dakwah Rasul. Di tengah acara, Abdullah bin Ummi Maktum datang dan bermaksud bergabung di majelis itu. Rasulullah dengan halus mengatakan bahwa majelis ini khusus untuk pembesat terlebih dahulu, karena biasanya para pembesar itu enggan untuk dicampur dengan rakyat biasa.

Secara logika manusia, apa yang Rasulullah lakukan itu benar. Tidak setiap saat para pembesar itu mau mendengarkan nasehat. Mumpung mereka mau, beliau memaksimalkan kesempatan itu untuk berdakwah. Namun, dari pandangan Allah, hal itu kurang tepat. Belum tentu orang-orang kaya itu mau beriman. Di lain sisi, Abdullah bin Ummi Maktum yang sudah beriman akhirnya harus sedikit tersingkirkan oleh mereka. Karenanya, Allah menurunkan teguran kepada beliau memalui Abasa ayat 1-12. Hal ini juga menunjukkan bahwa wahyu itu kedudukannya lebih tinggi daripada hasil pikiran manusia.

Kesalahan pada Taktik Perang dan Pemerintahan

Ketiga, kesalahan yang berkaitan tentang urusan taktik perang dan kepemerintahan. Kesalahan seperti ini bisa saja terjadi pada diri Nabi dan Rasul. Seperti yang terjadi pada perang Badar. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memutuskan untuk berkemah di belakang mata air Badar. Salah satu shahabat bertanya kepada Rasul,”Apakah ini adalah wahyu dari Allah atau hanya sebuah hasil ijtihad beliau saja?” Rasul pun menjawab bahwa ini adalah ijtihad beliau. Lantas, shahabat itu mengusulkan untuk berkemah di depan mata ait. Tujuannya ialah supaya pasukan Quraisy yang kehausan karena perjalanan jauh tidak bisa mengambil air secara bebas. Dengan taktik itu, akhirnya muslimin berhasil mendapatkan kemenangan. Kejadian seperti ini juga pernah terjadi ketika beliau bersama para shahabat di Madinah hendak dikepung oleh pasukan Quraisy dan sekutunya. Akhirnya, atas usulan Salman Al Farisi, maka kota Madinah harus dikelilingi oleh parit sebagai bentuk pertahanan dari serangan pasukan Quraisy.

Kesalahan pada Hal-Hal Duniawi

Keempat, kesalahan pada hal-hal duniawi. Seperti kesalahan dalam hal pertanian. Sebagaimana ketika beliau menyampaikan tata cara memanen kurma berdasarkan pengetahuan beliau yang berbeda dengan biasanya. Maka para shahabat menanyakan apakah itu wahyu, maka beliau menjawab bahwa itu bukan wahyu dan pendapat dalam hal ini bebas. Bahkan Rasul juga mengatakan,”Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.”

Para Nabi dan Rasul juga tidak bisa mengetahui hal-hal ghaib yang tidak Allah informasikan kepada mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri tidak mengetahui secara pasti kapan beliau meninggal. Beliau hanya diberi isyarat bahwa ajal beliau sudah dekat. Seperti dengan turunnya surat An Nashr sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas. Mengenai hal ini, Allah SWT berkalam :

ﵟقُل لَّآ أَقُولُ لَكُمۡ عِندِي ‌خَزَآئِنُ ‌ٱللَّهِ وَلَآ أَعۡلَمُ ٱلۡغَيۡبَ وَلَآ أَقُولُ لَكُمۡ إِنِّي مَلَكٌۖ إِنۡ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰٓ إِلَيَّۚ ﵞ 

“Katakanlah (wahai Muhammad) aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa aku memiliki rahasia-rahasia milik Allah. Aku pun tidak mengetahui hal ghaib dan aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa aku adalah malaikat. Tidaklah aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku.”

Q.S Al An’am : 50

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *